SYUBHAT SYIAH : Pembahasan pertama dimulai dari
pertanyaan apakah patut menjadi kebiasaan para pekerja seperti tukang becak,
petani dan lain-lain untuk shalat tiga waktu dengan menjama’ nya karena alasan
pekerjaan?.
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya sederhana,
patut ataukah tidak itu harus ditimbang dengan kacamata Syari’at. Kalau
syari’at membolehkan hal tersebut maka ya tidak ada masalah. Tidak perlu ngalor
ngidul bicara soal lalai dalam shalat atau dimana rasa syukur kita. Shalat itu
perkara yang diatur tatacaranya, nah kalau memang ada aturan syari’at yang
membolehkan shalat jama’ karena ada hajat atau keperluan maka melaksanakannya
bukan berarti lalai atau tidak bersyukur kepada Allah SWT. Apalagi jika perkara
menjama’ shalat ini dianggap mempermainkan Syari’at agama justru ucapan seperti
ini hanya muncul dari orang yang tidak mengerti syari’at agama.
Komentar : iya memakai kaca mata syariat bukan
kaca mata syiah pelaknat.hukum syariat berputar sesuai ‘illat,memang susah
dialog dg pembenci ulama’ dan kaidah ulama’,malah berpegang tafsir hawa nafsu
belaka.kalau tafsir tidak dalam bimbingan ulama’ udah pasti dalam bimbingan
syetan laknatulloh.
SYUBHAT SYIAH : Pembahasan kedua apakah hukumnya
menjama’ shalat dengan alasan pekerjaan tanpa adanya uzur?. Jawabannya boleh,
sedangkan orang yang mengatakan haram maka ia telah menentang sunnah Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] yang jelas dan terang benderang.
Komentar : dimana nabi membolehkan,itu Cuma dari
kantong ente sendiri.justru ente menyelisihi petunjuk nabi,kalau tanpa udzur
boleh,untuk apa menunjukkan adanya udzur syar’i.Cuma logika syiah yg sakit yg
bisa menerima.
SYUBHAT SYIAH :
وحدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد بن زيد عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى بالمدينة سبعا وثمانيا الظهر والعصر والمغرب والعشاء
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’
Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid dari
‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah
tujuh dan delapan rakaat yaitu Zhuhur Ashar dan Maghrib Isya’ [Shahih
Muslim 1/490 no 705]
Komentar : kalau Cuma bermodalkan hadits ini lalu
menyimpulkan boleh tanpa udzur???lafadz yg mana yg menunjukkan? kalau gak ada
qorinah ya kembali ke hukum asal,kan begitu?bukan ditafsiri tanpa udzur.sungguh
lucunya.
SYUBHAT SYIAH : Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy
membuat-buat syubhat bahwa shalat jama’ yang dimaksud adalah jama’ shuri bukan jama’ yang sebenarnya. Maksudnya
Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di akhir waktu Zhuhur kemudian
shalat Ashar di awal waktu, seolah-olah kelihatan menjamak tetapi sebenarnya
dilakukan pada waktunya sendiri-sendiri. Begitu pula Beliau [shallallahu
‘alaihi wasallam] shalat Maghrib di akhir waktu kemudian shalat Isya’ di awal
waktu.
Komentar : itu bukan syubhat, tapi pendapat
ulama’ mu’tabar.justru pendapat ente yg ngawur yg kena syubhat syiah suka melaknat akhirnya terlaknat.
SYUBHAT SYIAH : Al Amiriy berhujjah dengan
riwayat berikut, ia berkata
Dan hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas sendiri
selaku perawi hadits yang sedang kita bahas diatas. Ibnu Abbas berkata:
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا، وَسَبْعًا جَمِيعًا أَخَّرَ الظُّهْرَ، وَعَجَّلَ العَصْرَ، وَعَجَّلَ العِشَاءَ، وَأَخَّرَ المَغْرِبَ
Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi
wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi
wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan
mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” HR. Bukhari Muslim
Sebenarnya kami cukup heran dengan penukilan
hadisnya. Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy telah
berdusta atas sumber nukilan hadis tersebut. Kami tidak menemukan adanya
riwayat Bukhariy dan Muslim dengan lafaz yang demikian. Riwayat yang dinukil Al
Amiriy adalah riwayat Nasa’iy bukan riwayat Bukhariy dan Muslim
أخبرنا قتيبة بن سعيد ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَان , عَنْ عمرو , عَنْ جابر بن زيد عَنِ ابن عباس , قَالَ : صليت مع النبي بالمدينة ثمانيًا جميعًا وسبعًا جميعًا ؛ أخر الظهر وعجل العصر , وأخر المغرب وعجل العشاء
Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin
Sa’iid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru dari
Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata aku shalat bersama Nabi di
Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat
Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’ [Sunan
Nasa’iy Al Kubra no 375]
Riwayat ini sanadnya shahih tetapi lafaz “Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat
Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa” bukan
bagian dari perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraj [sisipan] dari perawi hadis.
Buktinya ada pada riwayat berikut
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ أبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا قُلْتُ يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ أَظُنُّهُ أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ قَالَ وَأَنَا أَظُنُّهُ
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin
‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru yang
berkata aku mendengar Abul Sya’tsaa’ Jaabir yang berkata aku mendengar Ibnu
‘Abbaas [radiallahu ‘anhum] berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan
rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. ‘Amru
berkata “wahai Abul Sya’tsaa’ aku mengira Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan
mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat
‘Isyaa’. [Abu Sya’tsaa’] berkata “aku juga mengiranya demikian” [Shahih
Bukhariy 2/58 no 1174].
Oleh karena itu nampak jelas kekeliruan Asy
Syaukaniy yaitu ulama yang dikutip oleh Al Amiriy perkataannya
Komentar : sungguh lucunya,sejak kapan menukil
idroj berarti pendapatnya keliru, perawi hadits tentu lebih mengerti pake
bangeet daripada kesimpulan ente yg konyol itu.
SYUBHAT SYIAH : Imam Syaukani Rahimahullah
berkata:
وَمِمَّا يَدُلّ عَلَى تَعْيِين حَمْل حَدِيثِ الْبَابِ عَلَى الْجَمْع الصُّورِيّ مَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْر وَعَجَّلَ الْعَصْر، وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ» فَهَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَاوِي حَدِيثِ الْبَابِ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّ مَا رَوَاهُ مِنْ الْجَمْع الْمَذْكُور هُوَ الْجَمْع الصُّورِيّ
“Dan dari apa yang membawa hadits ini (Hadits
Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan jama’a beneran) adalah riwayat yang
dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas dengan lafadz: “Aku bersama nabi
shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan ashar sekaligus, dan maghrib
isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar.
Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini
adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas), Ibnu Abbas telah memperjelas
bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai jama’ shalat yang disebutkan
adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)
Lafaz yang dijadikan hujjah oleh Asy Syaukaniy
tersebut bukanlah perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraaj [sisipan] dari perawi
hadis yaitu zhan [dugaan] sang perawi terhadap hadis
tersebut. Dan zhan atau prasangka tidak menjadi hujjah.
Apalagi di saat yang lain Abu Sya’tsaa’ Jabir bin
Zaid perawi tersebut menyebutkan zhan atau dugaan yang lain
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ فَقَالَ أَيُّوبُ لَعَلَّهُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ قَالَ عَسَى
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man
yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dia Ibnu Zaid dari ‘Amru
bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Nabi [shallallahu
‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat Zhuhur Ashar dan
Maghrib Isyaa’. Maka Ayuub berkata “mungkin karena
malam berhujan”. [Jabir bin Zaid] berkata “bisa jadi” [Shahih Bukhariy
1/114 no 543]
Di saat lain perawi mengira itu jamak shuriy dan
di saat lain perawi yang sama mengira jama’ itu karena hujan. Dugaan tidak
menjadi hujjah dan terdapat riwayat Ibnu ‘Abbas yang menunjukkan bahwa jama’
tersebut memang betul jama’ shalat sebenarnya bukan jama’ shuriy.
وحدثني أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد عن الزبير بن الخريت عن عبدالله بن شقيق قال خطبنا ابن عباس يوما بعد العصر حتى غربت الشمس وبدت النجوم وجعل الناس يقولون الصلاة الصلاة قال فجاءه رجل من بني تميم لا يفتر ولا ينثني الصلاة الصلاة فقال ابن عباس أتعلمني بالسنة ؟ لا أم لك ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء قال عبدالله بن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة فسألته فصدق مقالته
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’
Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dari Zubair
bin Khirriit dari ‘Abdullah bin Syaqiiq yang berkata Ibnu
‘Abbas berkhutbah kepada kami pada suatu hari setelah Ashar sampai terbenamnya
matahari dan nampak bintang-bintang maka orang-orang pun mulai
menyerukan “shalat shalat”. Kemudian datang seorang dari Bani Tamim yang tidak
henti-hentinya menyerukan “shalat shalat”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “engkau
ingin mengajariku Sunnah? Celakalah engkau, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata “aku
telah melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] menjama’ shalat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. ‘Abdullah bin
Syaqiiq berkata “dalam hatiku muncul sesuatu yang mengganjal, maka aku
mendatangi Abu Hurairah dan bertanya kepadanya, maka ia membenarkan ucapannya
[Ibnu ‘Abbas] [Shahih Muslim 1/490 no 705]
Zhahir lafaz riwayat Muslim di atas memang
menyebutkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam]
menjama’ Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Kemudian apa yang dilakukan
Ibnu ‘Abbas belum mengerjakan shalat maghrib sampai
nampaknya bintang-bintang menunjukkan bahwa ia akan shalat jama’ takhir
maghrib isyaa’ maka bisa dipastikan hal itu bukan jama’ shuriy.
Perbuatan Ibnu ‘Abbaas yang menjama’ shalat
maghrib dan isya’ karena sibuk berkhutbah [menyampaikan ilmu] menjadi dasar
untuk menolak zhan [dugaan] perawi hadis yang menganggap jama’ tersebut adalah
jama’ shuriy atau zhan [dugaan] yang menganggap hal itu adalah jama’ karena
hujan.
.Komentar :
he..sok gak pernah salah ketik,padahal ente jelas lebih parah,ente salah jelas
terjemahan,tapi gak nyadar..kasihaan..lihat ente artikan وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ
“. Dan mengakhirkan shalat ashar”ini jelas kesalahan yg nyata.
Apakah kalau itu terbukti idraj terus serta merta
bukan hujjah alias bukan bahan pertimbangan sama sekali,jelas ini pembodohan yg
nyata.
Imam alfasawi dalam fathul mughits hal 224
menjelaskan jika dalam hal tafsir matan maka itu hujjah,tentu jauh lebih
dipertimbangkan daripada ucapan ente yg ngawur versi syiah yg tidak peduli
ucapan sahabat bahkan memaki mereka.apalagi jika ucapan sahabat itu tidak
bertentangan dg sahabat lain walaupun berbeda penafsiran namun berujung sama
yaitu udzur syar’I bukan tanpa alasan kayak syiah sesat.dan itu bukan medan
akal/ijtihad serta berkesesuaian dg ushul syariat.
Diriwayatkan
juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru)
berkata: “Jika kami tidak menjumpai
dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat
para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus
bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar
atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang
menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya
kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 )
Jama’ shuri dan jama’ beneran tidaklah
bertentangan dan kedua cara itu haq,tidak perlu dipertentangkan kecuali bagi
orang yg gagal faham kayak syiah rusak logika ini.ibnu abbas pun tidak pernah
melarang jama’ shuri, jadi walaupun beliau jama’ beneran tidak lantas
membatalkan pembolehan jama’ shuri karena ada hadits yg menjelaskan hal
itu,serta rukhsoh atau kesulitan seseorang bertingkat-tingkat.oleh karenanya
ada kaidah yg masyhur : hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya, ada atau
tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara
itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku
padanya)
Jadi mempertentangkan sesuatu yg sama2 ada nashnya adalah kejahilan yg rusakImam Syafii mengatakan, “Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Di antaranya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di Madinah dengan tujuan memberi kelonggaran untuk umatnya sehingga tidak ada seorangpun yang berat hati untuk menjamak shalat pada satu kondisi”. Setelah itu beliau mengatakan,
” وليس لأحد
أن يتأوّل في الحديث ما ليس فيه
“
“Tidak boleh bagi seorangpun untuk mengotak atik hadits dengan hal yang
tidak terdapat di dalamnya” (Al Umm 7/205).
.
.
SYUBHAT SYIAH : Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy
kemudian membawakan hadis lain yang menurut anggapannya menjadi hujjah bahwa
jama’ tersebut dilakukan karena terdapat uzur perkara berat yang mendesak.
Berikut riwayat yang dimaksud
وحدثنا أحمد بن يونس وعون بن سلام جميعا عن زهير قال ابن يونس حدثنا زهير حدثنا أبو الزبير عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم الظهر والعصر جميعا بالمدينة في غير خوف ولا سفر قال أبو الزبير فسألت سعيدا لم فعل ذلك ؟ فقال سألت ابن عباس كما سألتني فقال أراد أن لا يحرج أحدا من أمته
Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin
Yuunus dan ‘Aun bin Salaam keduanya dari Zuhair. Ibnu Yuunus berkata telah
menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu
Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah
[shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat zhuhur dan ashar sekaligus di Madinah
bukan karena takut dan bukan pula dalam perjalanan. Abu Zubair berkata maka aku
bertanya kepada Sa’id “mengapa Beliau melakukannya?”. [Sa’id]
berkata aku telah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sebagaimana engkau bertanya
kepadaku. Maka ia menjawab “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun
dari umatnya” [Shahih Muslim 1/489 no 705]
Dalam hadis di atas tidak ada disebutkan bahwa
Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ karena uzur perkara
berat atau mendesak. Lafaz hadis “Beliau menginginkan
tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” adalah tujuan dari syari’at
shalat jama’ tersebut bukan sebagai keterangan yang menunjukkan adanya uzur.
Secara zhahir hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] melakukan shalat jama’ tersebut tanpa adanya uzur, Beliau ingin
memberikan keluasan kepada umatnya sehingga tidak ada satupun dari umatnya yang
akan merasa kesulitan dalam melaksanakan shalat.
Komentar : inilah ente selalu membuat kesimpulan
yg dipaksakan,mana kata-kata boleh tanpa udzur???gak ada,itu Cuma dari kantong
ente sendiri.justru menunjukkan bahwa al haroj / kesulitan adalah termasuk
udzur syar’I dalam menjama’ sholat,bukan dibawa tanpa udzur.
SYUBHAT SYIAH : Al Baghawiy memahami hadis
riwayat Muslim tersebut sebagai dalil bolehnya menjama’ shalat tanpa adanya
uzur. Al Baghawiy setelah meriwayatkan hadis di atas dalam kitabnya Syarh As
Sunnah, ia berkata
هَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْجَمْعِ بِلا عُذْرٍ ، لأَنَّهُ جَعَلَ الْعِلَّةَ أَنْ لا تَحْرَجَ أُمَّتُهُ ، وَقَدْ قَالَ بِهِ قَلِيلٌ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ ، أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا بِالْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ إِذَا كَانَتْ حَاجَةٌ أَوْ شَيْءٌ ، مَا لَمْ يَتَّخِذَهُ عَادَةً
Hadis ini menjadi dalil dibolehkannya
menjama’ shalat tanpa adanya uzur, karena Beliau telah menjadikan sebabnya
sebagai tidak menyulitkan umatnya, Dan sungguh telah berkata demikian sedikit
dari ahlul hadis, dihikayatkan dari Ibnu Siriin bahwa ia berkata “tidak mengapa
menjama’ dua shalat jika memiliki hajat atau sesuatu keperluan dan tidak
menjadikannya sebagai kebiasaan” [Syarh As Sunnah Al Baghawiy 4/199 no 1044]
Ibnu ‘Abbaas sendiri selaku sahabat yang
meriwayatkan hadis tersebut telah mengamalkan menjama’ shalat bukan karena ada
perkara berat yang mendesak sebagaimana dikatakan Al Amiriy. Apakah berkhutbah
atau menyampaikan ilmu termasuk perkara berat mendesak?. Bukankah begitu mudah
untuk berhenti sejenak untuk melaksanakan shalat. Kalau Al Amiriy menganggap
shalat jama’ tersebut mempermainkan syari’at atau lalai maka itu berarti ia
menuduh Ibnu ‘Abbaas telah mempermainkan syari’at.
Komentar : bukan syiah kalau tidak curang ilmiah,
dari nukilan albaghowi jelas itu pendapat sedikit dari ahli hadits,adapun ibnu
sirrin tidak berpendapat demikian,namun si syiah ini membuat seolah-olah ibnu
sirrin juga mengakuinya dg menaruh koma di depan nama ibnu sirrin serta tidak
mengartikan huruf wawu yg itu
menunjukkan bukan bagian kalimat sebelumnya,inilah kecurangan yg sering
dilakukan syiah,yg harus diwaspadai.
Apalagi kalau lanjutkan nukilannya akan semakin
menyingkap kebusukannya yaitu :
وذهب أكثر العلماء
إلى أن الجمع بغير عذر لا يجوز
Dan kebanyakan ulama’ berpendapat
bahwa jama’ tanpa udzur tidak boleh
SYUBHAT SYIAH : حدثنا موسى بن هارون ثنا داود بن عمرو الضبي ثنا محمد بن مسلم
الطائفي عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس قال : صلى رسول الله صلى
الله عليه و سلم ثمان ركعات جميعا وسبع ركعات جميعا من غير مرض ولا علة
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin
Haruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy
yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy
dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat delapan
rakaat sekaligus dan tujuh raka’at sekaligus bukan karena sakit dan tanpa sebab
tertentu [uzur] [Mu’jam Al Kabir 12/177 no 12807]
Riwayat Ath Thabraniy di atas para perawinya
tsiqat dan shaduq, berikut keterangan tentangnya
- Muusa bin Haaruun seorang hafiz tsiqat kabiir [Taqrib At Tahdzib 2/230]
- Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/281]
- Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy seorang yang shaduq sering keliru dari sisi hafalannya [Taqrib At Tahdzib 2/133]. Dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Muslim seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 6293]
- ‘Amru bin Dinar Al Makkiy seorang yang tsiqat tsabit [Taqrib At Tahdzib 1/734]
- Jabir bin Zaid seorang yang tsiqat faqiih [Taqrib At Tahdziib 1/152]
Riwayat Ath Thabraniy di atas adalah qarinah kuat
yang menyatakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat
tersebut tanpa adanya uzur.
Komentar : itu hadits ma’lul alias dho’if alias
lemah.tentang Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy, imam ahmad telah melemahkannya
:
ضعفه على كل حال ، من كتاب
وغير كتاب ، وقال : ما أضعف حديثه
Beliau melemahkan atas segala keadaannya,baik dg
kitab atau tana kitab,dan beliau berkata heran : apakah yg lebih lemah dari
haditsnya.
Imam abu ja’far al uqoiliy memasukkannya dalam
daftar barisan perawi – perawi lemah.
Imam abu hatim mengatakan : يخطئ dia keliru
Imam annasai berkata : ليس
بقوي في الحديث bukanlah perawi
yg kuat dalam hadits
Imam ibnu hajar : صدوق يخطىء
من حفظه shoduq sering keliru
dari hafalannya
,begitu pula imam ibnu rojab dalam al fath 3/84 :
محمد بن مسلم ليس بذاك الحافظ
Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy bukanlah seorang
yg hafidz.
Kalaupun shohih bukan dalil jama’ tanpa udzur
karena tanpa ‘illah bukan berarti tanpa udzur kayak tafsir ente yg ngawur.tapi
maksudnya tanpa keadaan sakit dan semisalnya.itulah tafsir ulama’ yg membedakan
‘illah dan udzur.begitu pula nabi membedakan dalam hadits :
من ترك الجمعة ثلاث مرات من غير عذر
ولا علة طبع الله على قلبه
Barangsiapa meninggalkan sholat jum’at tiga
kali tanpa udzur dan ‘illah maka akan menstempel hatinya.
Imam azzarqoni dalam syarh azzarqoni ‘alal
muwattho’ :
من مرض ونحوه ( ولا علة )
Dan tanpa ‘illah maksudnya tanpa keadaan sakit
dan semisalnya
SYUBHAT SYIAH : Kesimpulan
Dalam perkara ini, pendapat yang rajih adalah apa
yang dikatakan sebagian ulama bahwa menjama’ shalat dibolehkan secara mutlak
asal tidak dijadikan kebiasaan. Ibnu Hajar berkata
وقد ذهب جماعة من الأئمة إلى الأخذ بظاهر هذا الحديث ، فجوزوا الجمع في الحضر للحاجة مطلقا لكن بشرط أن لا يتخذ ذلك عادة ، وممن قال به ابن سيرين وربيعة وأشهب وابن المنذر والقفال الكبير وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث ، واستدل لهم بما وقع عند مسلم في هذا الحديث من طريق سعيد بن جبير قال : فقلت لابن عباس لم فعل ذلك ؟ قال : أراد أن لا يحرج أحدا من أمته
Dan sungguh sekelompok dari para imam telah
mengambil zhahir hadis ini, maka mereka membolehkan secara mutlak shalat jama’
ketika mukim karena ada keperluan tetapi dengan syarat tidak menjadikan hal itu
sebagai kebiasaan. Diantara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Sirin,
Rabii’ah, Asyhab, Ibnu Mundzir, Al Qaffaal Al Kabiir dan dihikayatkan oleh Al
Khaththaabiy dari jama’ah ahli hadis. Dan mereka telah berdalil dengan hadis
ini riwayat Muslim dari jalan Sa’iid bin Jubair yang berkata maka aku berkata
kepada Ibnu ‘Abbas “mengapa Beliau melakukannya?”. Ibnu ‘Abbaas berkata “Beliau
menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya “ [Fath Al Bariy Ibnu
Hajar 2/24]
Pernyataan para ulama yang dinukil Ibnu Hajar
tersebut telah sesuai dengan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi
wasallam] sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbaas. Pernyataan para ulama ini
sekaligus membatalkan klaim ijma’ dalam mengharamkan
shalat jama’ tanpa adanya uzur. Bagaimana bisa dikatakan ijma’ kalau
terdapat sekelompok ulama yang mengingkarinya.
Komentar : sekali ente curang ilmiah.ente ngacak
terjemahan sehingga muncul kalimat : membolehkan secara mutlak,.padahal kata mutlak itu dibelakang setelah ada hajat
,inilah pengaburan makna.seharusnya dikatakan: membolehkan shalat jama’
ketika mukim untuk hajat secara mutlak
.jadi yg mutlak itu jika ada hajat saja.
Jadi ijma’
itu tetap tegak berdiri kokoh dari mulut jahil syiah macam ente.
Abu ‘Umar Yusuf
Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-Istidzkar:
وَأَجْمَعَ
الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي
الْحَضَرِ لِغَيْرِ عُذْرِ الْمَطَرِ إِلَّا طَائِفَةً شَذَّتْ
“Dan para ulama
telah berijma’ bahwasanya tidak diperbolehkan menggabungkan 2 shalat ketika
mukim (tidak safar) tanpa adanya udzur hujan, kecuali sebuah kelompok yang
menyimpang (mereka membolehkan)” (Al-Istidzkar 2/211)
Ibnu Qudamah
rahimahullah juga berkata dalam Al-Mughni:
وَقَدْ
أَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ عُذْرٍ
“Dan kita telah
berijma’ bahwasanya menjama’ shalat hukumnya tidak boleh tanpa adanya udzur”
(Al-Mughni 2/204)
Dan menyelisihinya adalah dosa
besar.
وروى ابن
أبي شيبة (2/346) عن أبي موسى الأشعري وعمر بن الخطاب رضي الله عنهما أنهما قالا :
(الجمع بين الصلاتين من غير عذر من الكبائر) .
Dan imam ibn
abi syaibah (2/346) dari abu musa al as’ariy dan umar ibn al khottob beliau
berdua berkata : menjama’ dua sholat tanpa udzur termasuk DOSA BESAR