قال مالك: لا، والله حتى يصيب الحق، ما الحق إلا واحد، قولان مختلفان يكونان صوابًا جميعًا؟ ما الحق والصواب إلا واحد. Imam Malik berkata “Tidak,demi Allah, hingga ia mengambil yang benar. Kebenaran itu hanya satu. Dua pendapat yang berbeda tidak mungkin keduanya benar, sekali lagi kebenaran itu hanya satu
Minggu, 14 September 2014
syubhat ramainya kuburan ulama'/walisongo
Imam Ibnu al-Jazari mengatakan :
وَقَبْرُهُ (عَبْدُ اللهِ بْنِ الْمُبَارَكِ) بِهَيْتٍ مَعْرُوْفٌ يُزَارُ زُرْتُهُ وَتَبَرِّكْتُ بِهِ
“Makam Abdullah bin Mubarak di Hait sudah dikenal dan diziarahi. Saya menziarahinya dan saya bertabarruk dengannya ”[Ghayat an-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’ : 1/198]
Beliau juga mengatakan :
وَدُفِنَ (قَاسِمُ بْنُ فَيْرَهْ) بِالْقَرَافَةِ بَيْنَ مِصْرَ وَالْقَاهِرَةِ بِمَقْبَرَةِ الْقَاضِي الْفَاضِلِ عَبْدِ الرَّحِيْمِ الْبَيْسَانِي وَقَبْرُهُ مَشْهُوْرٌ مَعْرُوْفٌ يُقصَدُ لِلزِّيَارَةِ وَقَدْ زُرْتُهُ مَرَّاتٍ وَعَرَضَ عَلَيَّ بَعْضُ أَصْحَابِي الشَّاطِبِيَّةِ عِنْدَ قَبْرِهِ وَرَأَيْتُ بَرَكَةَ الدُّعَاءِ عِنْدَ قَبْرِهِ بِالإجَابَةِ رَحِمَهُ اللهُ وَرَضِيَ عَنْهُ
“Qasim bin Fairah dimakamkan di Qarafah, antara Mesir dan Kairo di makam Qadli al-Fadlil Abdurrahim al-Baisani. Makamnya menjadi tujuan ziarah dan saya sudah berziarah berkali-kali. Sebagian pengikut Syatibiyah memperlihatkan kepada saya di dekat makamnya dan saya melihat berkah doa di makam itu terkabul”[Ghayat an-Nihayah fi Thabaqat al-Qurra’ : 1/1285]
Ibnul Jauzi al-Hanbali mengatakan :
أحمد القزويني كان من الأولياء المحدثين، توفي في رمضان هذه السنة فشهده أمم لا تحصى، وقبره ظاهر يتبرك به في الطريق إلى معروف الكرخي
“Ahmad al-Quzwaini adalah sebagian dari wali yang ahli hadis. Meninggal di bulan Ramadlan, disaksikan oleh umat yang tak terhingga. Makamnya tampak nyata dan dicari berkahnya, di jalan menuju makam Ma’ruf al-Karakhi”[al-Muntadzam : 5/73]
Imam Asy-Syakhawi mengatakan :
عبد الملك بن عبد الحق بن هاشم الحربي المغربي كان صالحاً معتقداً يذكر أن أصله من الينبوع وأنه شريف حسني وقد ولي بمكة مشيخة رباط السيد حسن بن عجلان ومات بها في ليلة السبت ثامن شعبان سنة خمس وأربعين وبنى على رأس قبره نصب بل حوط نعشه وهو مما يزار ويتبرك به
“Abdul Malik bin Abdulhaq orang yang shaleh dan memiliki keyakinan. Ia berasal dari Yanbu’ dan ia adalah syarif dari keturunan Hasan, ia meninggal di Makkah pada tahun 40 H. Makamnya dibangun disisi kepada dan dikelilingi bangunan. ia termasuk yang diziarahi dan dicari berkahnya”[adl-Dlau’ al-Lami’ : 2/470]
Adz-Dzahabi juga mengatakan :
علي بن حُميد بن علي بن محمد بن حُميد بن خالد. أبو الحسن الذُّهلي، إمام جامع همذان ورُكن السنة بها. وتوفي في ثاني عشر جمادى الأولى، وقبره يزار ويُتبرك به
“Ali bin Humaid bin Ali bin Muhammad bin Humaid bin Khalid, Abu Hasan ad-Dahli, Imam di masjid Jami’ Hamdzan dan penopang sunah disana. Wafat pada 12 Jumada al-Ula. Makamnya diziarahi dan dicari berkahnya”[Tarikh al-Islam : 7/182]
Ibnu Hibban bercerita :
وَقَبْرُهُ بِسَنَا بَاذٍ خَارِجَ النَّوْقَانِ مَشْهُوْرٌ يُزَارُ بِجَنْبِ قَبْرِ الرَّشِيْدِ قَدْ زُرْتُهُ مِرَارًا كَثِيْرَةً وَمَا حَلَّتْ بِي شِدَّةٌ فِي وَقْتِ مَقَامِي بِطُوْسٍ فَزُرْتُ قَبْرَ عَلِى بْنِ مُوْسَى الرِّضَا صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى جَدِّهِ وَعَلَيْهِ وَدَعَوْتُ اللهَ إِزَالَتَهَا عَنَىَّ إلاَّ اسْتُجِيْبَ لِي وَزَالَتْ عَنِّى تِلْكَ الشِّدَّةُ وَهَذَا شَئٌ جَرَّبْتُهُ مِرَارًا فَوَجَدْتُهُ كَذَلِكَ أَمَاتَنَا اللهُ عَلَى مَحَبَّةِ الْمُصْطَفَى وَأَهْلِ بَيْتِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَيْهِمْ أجْمَعِيْنَ
“Makam Ali bin Musa di Sanabadz sebelah luar Nauqan sudah masyhur dan diziarahi di dekat makam ar-Rasyid. Saya sudah sering berkali-kali. Saya tidak mengalami kesulitan ketika saya berada di Thus kemudian saya berziarah ke makam Ali bin Musa, semoga Salawat dari Allah dihaturkan kepada kakeknya (Nabi Muhammad) dan saya berdoa kepada Allah untuk menghilangkan kesulitan tersebut, kecuali dikabulkan untuk saya dan kesulitan itu pun lenyap dari saya. Ini saya alami berkali-kali, dan saya temukan seperti itu. Semoga Allah mematikan kita untuk cinta kepada Nabi dan keluarganya ”[ats-Tsiqat, Ibnu Hibban : 8/457]
BANTAHAN :
betapa lemahnya pendalilan pecinta mayit seperti jaring laba-laba
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (al-Ankabut: 41)
karena awam yang baru belajar tauhid pun tahu kalau kuburan atau temat yang banyak di ngalab berkahnya itu bukan hujjah atau bukan bukti kebenarannya,apalagi kalau sang penghuni belum tentu ridho,belum tentu senang di alab berkah kuburnya.
sekarang tunjukkan mana perkataan para ulama penghuni kubur itu yg menyuruh mereka ngalab berkah setelah mereka dikubur!!.bahkan walisongo sekalipun tidak pernah berwasiat supaya kuburnya dialab berkahnya.
kecuali ulama' shufi,gak usah ditanya memang sudah tradisi mereka begitu
Ibnul Hâj, seorang tokoh Sufi menjelaskan mekanisme ziarah kubur versi mereka yang jelas-jelas bertentangan dengan risâlah yang dibawa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . As-Sya'râni memasukkan nama Ibnul Hâj dalam kitab Thabaqât Shûfiyah al-Kubra dalam al-Madkhal, "(Saat berziarah kubur) hendaknya peziarah mendoakan mayit, juga berdoa di sisi kubur saat muncul persoalan sulit yang menimpa dirinya atau kaum Muslimin. Jika penghuni kubur termasuk orang yang diharapkan keberkahannya, maka peziarah bertawassul kepada Allah Azza wa Jalla dengannya….kemudian bertawasul dengan para penghuni kubur dari kalangan orang-orang shaleh dari mereka untuk menyelesaikan persoalan-persoalannya dan mengampuni dosa-dosanya. Lantas baru berdoa bagi kebaikan dirinya, kedua orang tuanya, guru-gurunya, kaum kerabat dan keluarga penghuni kubur dan seluruh kaum Muslimin dan seterusnya
Ia meneruskan: "Siapa saja ada keperluan, hendaknya mendatangi mereka dan bertawasul dengan mereka. Sebab mereka adalah perantara antara Allah Azza wa Jalla dan makhluk-Nya.Tentang ziarah kubur para Nabi, ia mengatakan: "Jika peziarah datang mengunjungi mereka, hendaknya bersikap menghinakan diri, merasa membutuhkan, dan menundukkan diri, mengkonsentrasikan hati dan pikirannya kepada mereka dan membayangkan sedang melihat mereka dengan mata hatinya…. memohon kepada mereka, meminta kepada mereka penyelesaian persoalan (yang sedang dihadapi) dan meyakini akan dikabulkan karena keberkahan mereka dan optimis di dalamnya. Sebab mereka adalah pintu Allah Azza wa Jalla yang terbuka. Dan telah menjadi hukum Allah Azza wa Jalla , masalah-masalah tertuntaskan melalui tangan-tangan mereka. Siapa saja yang tidak bisa mengunjungi kuburan mereka, hendaknya mengirimkan salam kepada mereka sambil menyebutkan kepentingannya, permohonan ampun dan penutupan kesalahannya dll…".
"Secara khusus bagi peziarah yang mengunjungi kubur Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia harus lebih menghinakan diri dan merasa butuh kepadanya. Karena beliau pemberi syafaat yang sudah memperoleh idzin. Syafaat beliau tidak tertolak. Dan orang yang mendatangi beliau dan meminta tolong kepadanya tidak kembali dengan tangan hampa. Siapa saja yang bertawassul kepadanya, atau mengharapkan beliau menyelesaikan masalah-masalahnya pasti tidak tertolak dan akan sukses". [al-Madkhal hal. 254-258]
Dari keterangan Ibnul Hâj di atas, tampak betapa jauh perbedaan tujuan ziarah kubur yang disyariatkan. Mengenai perkataan Ibnul Hâj berkait tata cara ziarah kubur para nabi yang berbunyi "Jika peziarah datang mengunjungi mereka, hendaknya bersikap menghinakan diri…", Syaikh Ahmad an-Najmi berkomentar: "Ini adalah syirik besar yang menyebabkan pelakunya abadi di neraka. Saya tidak tahu kemana akal mereka di hadapan ayat-ayat al-Qur`ân dan hadits-hadits yang menyatakan kebatilan dan rusaknya keyakinan tersebut serta perbedaannya yang jauh dengan ajaran Islam dan ajaran Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sesungguhnya bersikap menghinakan diri, merasa membutuhkan, dan menundukkan diri, mengkonsentrasikan hati dan pikirannya kepada mereka dan berdoa, ini semua adalah hal-hal yang mesti dilakukan seorang hamba kepada Rabbnya (Allah Azza wa Jalla ). Siapa saja mengarahkannya kepada malaikat atau nabi (atau manusia-red), sungguh ia telah berbuat syirik besar…
Selanjutnya beliau menambahkan, "Orang ini telah mengadakan tandingan bagi Allah Azza wa Jalla . Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Ibnu 'Abbas: "Jika engkau meminta, mintalah kepada Allah Azza wa Jalla ". Sementara Ibnul Hâj mengatakan: "Mintalah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ". Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: "Minta tolonglah kepada Allah Azza wa Jalla ". berbeda dengan Ibnul Hâj yang mengatakan: "Minta tolonglah kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan persembahkan sikap menghinakan, membutuhkan dan kemelaratan kepadanya". [(Audhahul Isyârah Fir Raddi 'ala Man Ajâzal Mamnû' minaz Ziyârah hal. 203-205)]
contoh lain :
As-Sya'râni mengutip pernyataan Syaikh Muhammad bin Ahmad al-Farghal (meninggal tahun 850 H), ia mengatakan:
أَنَا مِنَ الْمُتَصَرِّفِيْنَ فَيْ قُبُوْرِهِمْ فَمَنْ كَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ فَلْيأتِ إِلَيَّ وَيَذْكُرُهَا لَيْ أَقْضِهَا لَهُ
“Saya termasuk orang yang sanggup menangani urusan-urusan saat berada di alam kubur. Siapa saja memiliki kepentingan, hendaknya datang kepada (kubur)ku dan menyampaikannya kepadaku. Aku akan menyelesaikannya”.[Thabaqât as-Sya'râni (2/93)]
As-Sya'râni juga mengutip pernyataan Syaikh Syamsuddin di detik-detik kematiannya:
مَنْ كَانَتْ لَهُ حَاجَةٌ فَلْيأتِ إِلَي قَبْرِيْ وَيَطْلُبُ حَاجَتَهُ أَقْضِهَا لَهُ
“Siapa saja memiliki urusan penting hendaknya mendatangi kuburku dan menyampaikan keperluannya, pasti akan aku tuntaskan [Thabaqât as-Sya'râni (2/86)]
sebenarnya ini telah dijelaskan oleh as-sya'rani sendiri:as-Sya'râni berkomentar: Kuburannya terkenal, sering dikunjungi. Orang-orang mencari berkah darinya".
Syaikh 'Abdur Razzâq al-'Abbâd hafizhahullâh menegaskan kekeliruan mereka ini dengan berkata: " Apakah mungkin ada orang di muka bumi ini yang sanggup membawakan riwayat dari mereka (generasi Sahabat dan Tabi'în) baik dengan jalur yang shahîh, lemah atau terputus bahwa mereka dahulu bila menghadapi urusan penting datang ke kubur-kubur dan berdoa di sana serta mengusap-usap pusara. Apalagi riwayat bahwa mereka mengerjakan shalat di kuburan dan meminta kepada Allah Azza wa Jalla melalui mereka atau meminta penghuni kubur untuk mewujudkan keperluan-keperluan mereka (lebih tidak ada lagi, red). Seandainya ini merupakan perkara Sunnah atau sebuah keutamaan, sudah barang tentu akan ada riwayat dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Dan para Sahabat dan Tabi'în pun pasti akan melakukannya….[Fiqhul "Ad'iyah (2/125)]
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar