SYUBHAT
: Sering kita temukan saat ini para pengikut ulama Saudi Arabia menfatwakan
haramnya mencukur jenggot dan wajibnya merawat jenggot hingga panjang secara
alami. Mereka pada umumnya secara keras mengatakan haram, sementara masalah ini
termasuk dalam ranah khilaf para ulama sejak dahulu.
JAWABAN
: yang benar itu fatwa tentang nabi Muhammad teladan ahlussunnah bukan ahlul
bid’ah.baca fatwanya :
Dalam
riwayat disebutkan bahwasanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam adalah
seorang yang lebat jenggotnya. (H.R Muslim dari Jabir) Dalam riwayat lain
disebutkan: “Tebal jenggotnya” dalam riwayat lain: “Banyak jenggotnya”,
maknanya sama yakni lebat jenggotnya. Oleh karena itu tidak dibolehkan memotong
sedikitpun darinya berdasarkan dalil-dalil umum yang melarangnya.
(Fatawa Lajnah Daimah Jilid V/133, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al Ilmiyah
wal Ifta, Dewan Tetap Arab saudi untuk riset-riset ilmiyah dan fatwa)
Jadi
fatwanya berdasarkan keteladanan dari nabi sendiri.
SYUBHAT :
Dalam
riwayat ini perawi hadisnya adalah Abdullah bin Umar. Dalam riwayat Bukhari
terdapat redaksi kelanjutan hadis diatas:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ
أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ ، فَمَا فَضَلَ أَخَذَهُ (رواه البخاري
رقم 5892)
“Ibnu
Umar ketika haji atau umrah memegang jenggotnya, maka apa yang melebihi
(genggamannya) ia memotongnya” (HR Bukhari No 5892)
al-Hafidz
Ibnu Hajar menyampaikan riwayat yang lain:
وَقَدْ أَخْرَجَهُ مَالِك فِي
الْمُوَطَّأ " عَنْ نَافِع بِلَفْظِ كَانَ اِبْن عُمَر إِذَا حَلَقَ رَأْسه
فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة أَخَذَ مِنْ لِحْيَته وَشَارِبه " (فتح الباري
لابن حجر - ج 16 / ص
483)
“Dan
telah diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwatha’ dari Nafi’ dengan redaksi: Ibnu
Umar jika mencukur rambutnya saat haji atau umrah, ia juga memotong jenggot dan
kumisnya” (Fath al-Baarii 16/483)
JAWABAN
: sekali lagi anda kurang teliti. أَخَذَ مِنْ artinya
mengambil sebagian bukan memotong jenggot seluruhnya.
SYUBHAT
:
Dalam
riwayat berbeda dinyatakan:
عَنْ جَابِرٍ قَالَ كُنَّا نُعْفِي
السِّبَالَ إِلاَّ فِى حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ (ابو داود . إسناده
حسن اهـ فتح الباري 350/10)
Dari
Jabir bin Abdillah “Kami (Para Sahabat) memanjangkan jenggot kami kecuali saat
haji dan umrah” (HR Abu Dawud, dinilai hasan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar)
Ahli
hadis Abdul Haq al-‘Adzim berkata:
وَفِي الْحَدِيث أَنَّ الصَّحَابَة
رَضِيَ اللَّه عَنْهُمْ كَانُوا يُقَصِّرُونَ مِنْ اللِّحْيَة فِي النُّسُك (عون المعبود ج 9 / ص 246)
“Di
dalam riwayat tersebut para sahabat memotong dari jenggot mereka saat ibadah
haji atau umrah” (Aun al-Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud 9/246)
JAWABAN
: يُقَصِّرُونَ
artinya
sekedar memendekkan bukan memotong.
Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y berkata
:
وقد حدث قوم يحلقون
لحاهم وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها
”Telah ada suatu kaum yang biasa
mencukur jenggotnya (sampai habis). Hal itu lebih parah dari apa yang ternukil
dari orang Majusi dimana mereka hanya memotongnya saja (tidak sampai habis)” [Fathul-Bari 10/351 no.
5553].
SYUBHAT
: Dari dua atsar ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak haram, karena
Abdullah bin Umar dan Sahabat yang lain mencukurnya saat ibadah haji atau
umrah. Kalaulah mencukur jenggot haram, maka tidak akan dilakukan oleh para
sahabat, terlebih Abdullah bin Umar adalah sahabat yang dikenal paling tekun
dalam meneladani Rasulullah Saw hingga ke tempat-tempat dimana Rasulullah
pernah melakukan salat.
JAWABAN
: yang benar sebagian sahabat membolehkan yg lebih satu genggam bukan mencukur
habis.itupun hanya saat haji dan umroh
’Atha’
bin Abi Rabbah juga telah menceritakan/menghikayatkan dari sekelompok shahabat
(dan tabi’in) dimana ia berkata :
كانوا يحبون أن
يعفوا اللحية إلا في حج أو عمر.
”Mereka
(para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat
haji dan ’umrah (dimana mereka memotongnya apa-apa di bawah genggaman tangan)”
[HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482 dengan sanad shahih]
Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :
وقصها ـ أي اللحية ـ
سنة المجوس, وفيه تغيير خلق الله
”Mencukurnya
– yaitu mencukur jenggot – merupakan sunnah kaum Majusi. Hal
itu terdapat perbuatan merubah ciptaan Allah” [Al-Hujjatul-Baalighah 1/182].
SYUBHAT
: Imam an-Nawawi berkata:
( وَفِّرُوا اللِّحَى ) فَحَصَلَ خَمْس
رِوَايَات : أَعْفُوا وَأَوْفُوا وَأَرْخُوا وَأَرْجُوا وَوَفِّرُوا ،
وَمَعْنَاهَا كُلّهَا : تَرْكُهَا عَلَى حَالهَا . هَذَا هُوَ الظَّاهِر مِنْ
الْحَدِيث الَّذِي تَقْتَضِيه أَلْفَاظه ، وَهُوَ الَّذِي قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ
أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ مِنْ الْعُلَمَاء . وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاض - رَحِمَهُ
اللَّه تَعَالَى - يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا ، وَأَمَّا الْأَخْذ
مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن (شرح النووي على مسلم - ج 1 /
ص 418)
“Dari
5 redaksi riwayat, makna kesemuanya adalah membiarkan jenggot tumbuh sesuai
keadaannya. Ini berdasarkan teks hadisnya. Inilah pendapat sekelompok ulama
Syafiiyah dan lainnya. Qadli Iyadl berkata: Makruh untuk memotong dan mencukur
jenggot. Adapun memotong jenggot dari arah panjang dan lebarnya, maka bagus”
(Syarah Muslim 1/418)
JAWABAN
: قَالَهُ جَمَاعَة مِنْ أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ
مِنْ الْعُلَمَاء pendapat
sekelompok ulama Syafiiyah dan lainnya DARI PARA ULAMA’.
Demikianlah
pendapat imam nawawi sebagaimana dinukil ibnu hajar dalam fathul bari 10/350 :
والمختار تركها على حالها pendapat terpilih adalah membiarkan
jenggot apa adanya.
Imam
nawawi mengatakan :
وكان من عادة الفرس قص اللحية
فنهى الشرع عن ذلك
Dan termasuk kebiasan orang Persia adalah
mencukur jenggot maka syariat telah melarang hal itu (syarh shohih
muslim 3/149)
Adapun
pendapat qodhi ibn iyadh berdasarkan hadits ghorib dhoif.
وَقَال
عِيَاضٌ : الأْخَذُ مِنْ طُول اللِّحْيَةِ وَعَرْضِهَا إِذَا عَظُمَتْ حَسَنٌ ،
بَل تُكْرَهُ الشُّهْرَةُ فِي تَعْظِيمِهَا كَمَا تُكْرَهُ فِي تَقْصِيرِهَا ،
وَمِنَ الْحُجَّةِ لِهَذَا الْقَوْل مَا وَرَدَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ طُولِهَا وَعَرْضِهَا
(Mausu’ah
al-Fiqhiyyah 35/225)
Hadits
itu riwayat tirmidzi dan dilemahkan oleh ibnu hajar dalam fathul bari 10/350)
jadi dasar pemakruhan itu lemah sekali.
SYUBHAT
: Dengan demikian, dapat disimpulkan:
«حَلْقُ
اللِّحْيَةِ»
ذَهَبَ جُمْهُوْرُ الْفُقَهَاءِ :
الْحَنَفِيَّةِ وَالْمَالِكِيَّةِ وَالْحَنَابِلَةِ وَهُوَ قَوْلٌ عِنْدَ
الشَّافِعِيَّةِ إِلَى أَنَّهُ يَحْرُمُ حَلْقُ اللِّحْيَةِ لأَنَّهُ مُنَاقِضٌ
لِلأَمْرِ النَّبَوِيِّ بِإِعْفَائِهَا وَتَوْفِيْرِهَا ...... وَاْلأَصَحُّ عِنْدَ الشَّافِعِيَّةِ
: أَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ مَكْرُوْهٌ (الموسوعة الفقهية ج 2
/ ص 12894)
“Bab
tentang mencukur jenggot. Mayoritas ulama fikih, yaitu Hanafiyyah, Malikiyah,
Hababilah dan satu pendapat dalam madzhab Syafiiyah menyatakan bahwa mencukur
jenggot hukumnya haram, karena bertentangan dengan perintah Nabi untuk
membiarkan jenggot hingga sempurna. Dan pendapa yang lebih unggul dalam madzhab
Syafiiyah bahwa mencukur jenggot adalah makruh” (Mausu’ah al-Fiqhiyyah 2/12894)
JAWAB
: anda itu ahlus sunnah atau ahlul makruh???kalau ahlus sunnah kenapa gandrung
sama yg makruh?
Justru
disana disimpulkan :
وَأَمَّا حَلْقُ
اللِّحْيَةِ فَمَنْهِيٌّ عَنْهُ dan adapun mencukur jenggot maka itu
dilarang(Mausu’ah al-Fiqhiyyah 18/97)
Itu
adalah kesimpulan alqolyubi.dalam bugyatul mustarsyidin 1/40 :
على
أنه لا يكره الأخذ من طول اللحية وعرضها كما ورد في الحديث ، وإن نص الأصحاب على
كراهته ، نعم نص الشافعي رضي الله عنه على تحريم حلق اللحية ونتفها
Jadi
nash makruh itu bedasarkan hadits dhoif.sedangkan imam syafi’I tegas
pengharamannya
Dan
imam syafi’I dalam al umm 6/82 dg tegas melarangnya :
وَإِنْ كان في اللِّحْيَةِ لَا يَجُوزُ
SYUBHAT
: Sayidina Umar Berkumis
عَنْ عَامِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ
الزُّبَيْرِ أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا غَضَبَ فَتَلَ شَارِبَهُ
وَنَفَخَ. (رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح
خلا عبد الله بن أحمد وهو ثقة مأمون إلا أن عامر بن عبد الله بن الزبير لم يدرك
عمر اهـ مجمع
الزوائد ومنبع الفوائد . محقق – ج 5
/ ص 200)
“Diriwayatkan
dari Amir bin Abdillah bin Zubair bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia
memintal kumisnya dan meniup” (Riwayat Thabrani, para perawinya sahih, selain
Abdullah bin Ahmad, ia terpercaya dan dipercaya. Hanya saja Amin bin Abdullah
bin Zubair tidak menjumpai Umar)
al-Hafidz
Ibnu Hajar berkata:
وَقَدْ رَوَى مَالِك عَنْ زَيْد بْن
أَسْلَمَ " أَنَّ عُمَر كَانَ إِذَا غَضِبَ فَتَلَ شَارِبه " فَدَلَّ
عَلَى أَنَّهُ كَانَ يُوَفِّرهُ . وَحَكَى اِبْن دَقِيق الْعِيد عَنْ بَعْض
الْحَنَفِيَّة أَنَّهُ قَالَ : لَا بَأْس بِإِبْقَاءِ الشَّوَارِب فِي الْحَرْب
إِرْهَابًا لِلْعَدُوِّ وَزَيَّفَهُ (فتح الباري
لابن حجر - ج 16 / ص 479)
“Malik benar-benar telah meriwayatkan dari Zaid bin Aslam
bahwa jika Umar bin Khattab marah, maka ia memintal kumisnya. Ini menunjukkan
bahwa Umar memanjangkan kumisnya. Ibnu Daqiq al-Iid mengutip dari sebagian
ulama Hanafiyah, bahwa: Tidak apa-apa merawat kumis saat perang, untuk menakuti
musuh” (Fath al-Baarii 16/479)
JAWAB : memintal kumis tidak berarti membiarkan panjang
tanpa aturan.sama halnya dg membiarkan jenggot ada yg berijtihad tidak lebih
dari segenggam begitu pula kumis ada yg berpendapat tidak melebihi tepi bibir.
عن أنس قال وقت لنا
في قص الشارب وتقليم الأظفار ونتف الإبط وحلق العانة أن لا نترك أكثر من أربعين
ليلة
Dari
Anas radliyallaahu
‘anhu ia
berkata : “Kami diberi waktu dalam memotong kumis, memotong kuku, mencabut buku
ketiak, dan mencukur bulu kemaluan agar kami tidak membiarkannya lebih dari 40
malam” [HR. Muslim no. 258, Abu Dawud no. 4200, An-Nasa’i no. 14, Abu ‘Awanah
no. 354, dan yang lainnya].
بن بسر وعتبة بن عبد
السلمي والحجاج بن عامر الثمالي والمقدام بن معد يكرب الكندي كانوا يقصون شواربهم
مع طرف الشفة
Dari
Syarahbiil bin Muslim Al-Khaulaniy ia berkata : “Aku melihat lima orang dari
kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang
memotong kumis mereka dan memelihara jenggot mereka dan dengan mewarnainya
warna kuning. Mereka adalah : Abu Umamah Al-Bahiliy, ‘Abdullah bin Busr, ‘Utbah
bin ‘Abd As-Sulamiy, Al-Hajjaj bin ‘Amir Ats-Tsamaliy, dan Al-Miqdam bin
Ma’dikarib Ak-Kindiy. Mereka semua memotong kumis mereka hingga tepi bibir
bagian atas” [HR. Al-Baihaqi 1/151 no. 698].
عن مالك بن أنس
إحفاء بعض الناس شواربهم فقال مالك ينبغي أن يضرب من صنع ذلك فليس حديث النبي صلى
الله عليه وسلم في الإحفاء ولكن يبدي حرف الشفتين والفم قال مالك بن أنس حلق
الشارب بدعة ظهرت في الناس
Dari
Malik bin Anas bahwa ia ditanya tentang perbuatan sebagian manusia yang
memotong pendek/habis kumis mereka, maka beliau menjawab : ”Layak bagi orang
yang melakukannya untuk dipukul. Tidaklah hadits Nabi shallallaahu ’alaihi
wasallam memerintahkan untuk memotong pendek/habis, akan tetapi ia hanya
memotong yang lebih dari tepi dua bibir dan mulut”. Malik kemudian berkata :
”Mencukur habis kumis merupakan bid’ah yang berkembang di kalangan manusia”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 1/151 no. 699].
SYUBHAT :Mencukur habis jenggot itu hukumnya
dipersesihkan oleh para ulama, antara yang mengatakan makruh dan yang
mengatakan haram. Pendapat yang mu’tamad dalam madzhab Syafi’i sendiri adalah
makruh, bukan haram.”
JAWAB : Yang diperselisihkan adalah mencukur jenggot
melebihi segenggam.adapun mencukur habis jenggot itu telah disepakati keharamannya.
Ibnu Hazm :
واتفقوا أن حلق جميع
اللحية مثلة لا تجوز
”Para
ulama sepakat
(ijma’) bahwa
mencukur seluruh jenggot
adalah tidak
diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’ hal
157].Hal tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh Abul-Hasan bin Qaththaan
Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’ 2/3953.
SYUBHAT :
Sementara Imam Ahmad bin Hanbal
sendiri, masih memakruhkan menggundul habis jenggot, bukan mengharamkan. Dalam
hal ini, al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullaah, guru Syaikh Ibnu
Taimiyah, dan rujukan kaum Hanabilah berkata:
فَأَمَّا
حَفُّ الْوَجْهِ فَقَالَ : مُهَنَّا سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ
عَنِ الْحَفِّ فَقَالَ : لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ لِلنِّسَاءِ وَأَكْرَهُهُ لِلرِّجَالِ.
“Adapun menghilangkan rambut dari
wajah, maka Muhannad berkata: “Aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad bin
Hanbal) tentang menghilangkan rambut dari wajah, maka beliau berkata: “Tidak
ada-apa bagi kaum wanita dan aku memakruhkannya bagi kaum laki-laki.” (Ibnu
Qudamah, al-Mughni, juz 1 hal. 105).
JAWAB : makruh disitu
maksudnya makruh tahrim.terlihat al-Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi rahimahullaah
sendiri menyatakan denda bagi yg tidak tumbuh jenggotnya.
Kalau
hanya sekedar makruh tanzih tidak akan sampai didenda.
وفي شعر اللحية الدية
إذا لم ينبت
As-Saffarini Al-Hanbaly berkata :
المعتمد في المذهب ،
حُرمَةُ حَلْقِ اللحية
”Pendapat
yang mu’tamad (resmi/dapat
dipercaya) dalam Madzhab (Hanabilah) adalah diharamkannya mencukur jenggot” [Ghadzaaul-Albaab 1/376].
SYUBHAT :“Sebagian
ulama Syafi’iyah, yaitu Imam Ibnu al-Rif’ah memang memahami bahwa Imam
al-Syafi’i menghukum haram menggundul habis jenggot. Tetapi pendapat yang
mu’tamad dalam madzhab al-Syafi’i adalah makruh.”
Ibnul
Mulaqqin berkata demikian:
وقال
الحليمي في منهاجه: لا يحل لأحد أن يحلق لحيته ولا حاجبيه، وإن كان له أن يحلق
سباله، لأن لحلقه فائدة، وهي أن لا يعلق به من دسم الطعام ورائحته ما يكره، بخلاف
حلق اللحية، فإنه هجنة وشهرة وتشبه بالنساء، فهو كجب الذكر، وما ذكره في حق اللحية
حسن وإن كان المعروف في المذهب الكراهة.
"Al-Halimi berkata dalam
Minhaj-nya: “Tidak seorang pun dibolehkan memangkas habis jenggotnya, juga
alisnya, meski ia boleh memangkas habis kumisnya. Karena memangkas habis kumis
ada faedahnya, yakni agar lemak makanan dan bau tidak enaknya tidak tertinggal
padanya. Berbeda dengan memangkas habis jenggot, karena itu termasuk tindakan
hujnah, syuhroh, dan menyerupai wanita, maka ia seperti menghilangkan
kemaluan". Apa yang disebutkan oleh al-Halimi tentang jenggot itu bagus,
meskipun yang diketahui dalam madzhab al-Syafi’i hukumnya makruh.” (Sebagaimana
dinukil dalam kitab al-I’lam fi fawaaid Umdatil Ahkaam, karya Ibnul Mulaqqin
(wafat 804 H), terbitan Daarul 'Aaashimah)”
JAWABAN :itu yg terkenal.namun yg
benar pengharamannya sebagaimana dikatakan al-adzaro’I dalam hasyiyah ibnu
qosim atas tuhfatul muhtaj 9/376 karangan ibnu hajar al haitami dan dalam I’anat
at-tholibin 2/340:
قال ابن حجر الهيتمي في تحفة المحتاج (قال الشيخان يكره حلق اللحية
واعترض ابن الرفعة في حاشية الكافية بأن الشافعي نص في الأم على التحريم ، قال
الزركشي وكذا الحليمي في شعب الإيمان وأستاذه القفال الشاشي في محاسن الشريعة ، وقال
الأذرعي الصواب تحريم حلقها جملة لغير علة
Yg masyhur belum tentu benar.orang
yg benar hanya mencari yg benar bukan asal masyhur.
Pendapat makruh itu hanyalah
golongan mutaakkhirrin.sedangkan mutaqoddimiin dan kibarus syafi’iyyah sepakat
keharamannya termasuk imam syafi’I sendiri.
Imam al halimi adalah syaik/tetuanya
ulama’ syafi’iyyah dan termasuk ulama’ terkemuka dalam madzhab syafi’I dan dia
salah satu gurunya imam al hakim.sebagaimana di katakan imam addzahabi dalam
siyar17/162-231:
وصفه الإمام الذهبي بقوله: " شيخ الشافعية " وقال عنه:
" ومن أصحاب الوجوه في المذهب " كما في السير (17/ 162-231)
Imam al-adzdzaro’I adalah gurunya imam azzarkasyi dia mempunyai
pemikiran yg cerdas sebagaimana termaktub dalam thobaqotul fuqoha’ 1/276 :
كان ذا فهم ثاقب، وفكر دقيق، وله[ توجيهات] مليحة وتصانيف عجيبة
Dalam fathul mu’in 2/340 :
ويحرم
حلق لحية وخضب يدي الرجل ورجليه بحناء
Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :
واستدل الجمهور على
أن الأولى ترك اللحية على حالها, وأن لا يقطع منها شيء, وهو قول الشافعي وأصحابه
”Jumhur
ulama berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot
sebagaimana adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan
perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” [Tharhut-Tatsrib 2/83].
SYUBHAT ;
وَفِي
اللِّحْيَةِ عَشْرُ خِصَالٍ مَكْرُوْهَةٍ وَبَعْضُهَا أَشَدُّ كَرَاهَةً مِنْ
بَعْضٍ خِضَابُهَا بِالسَّوَادِ وَتَبْيِيْضُهَا بِالْكِبْرِيْتِ وَنَتْفُهَا
وَنَتْفُ الشَّيْبِ مِنْهَا وَالنُّقْصَانُ مِنْهَا
“Mengenai jenggot terdapat sepuluh
perkara yang makruh, sebagian lebih kuat kemakruhannya dari pada yang lain.
Yaitu menyemirnya dengan warna hitam, memutihkannya dengan belerang,
mencabutnya, mencabut ubannya saja dan mengurangi sebagiannya.” (Hujjatul Islam
al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, juz 1 hal, 277).
JAWABAN : kalau kemakruhannya
berbeda-beda mengapa anda memastikan itu makruh tanzih saja. Seperti menyemir
rambut dg hitam dan mencabut uban apakah makruh tanzih atau tahrim ?
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ،
قَالَ: ثَنَا يَحْيَى بْنُ مَعِينٍ، قَالَ: ثَنَا وَهْبُ بْنُ جَرِيرِ بْنِ
حَازِمٍ، قَالَ: ثَنَا أَبِي، قَالَ: سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ أَيُّوبَ يُحَدِّثُ،
عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ أَبِي الصَّعْبَةِ،
عَنْ حَنَشٍ الصَّنْعَانِيِّ، عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ
اللَّهِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ "، فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: إِنَّ رِجَالا
يَنْتِفُونَ الشَّيْبَ، فَقَالَ: " مَنْ شَاءَ نَتَفَ شَيْبَهُ "، أَوْ قَالَ: " نُورَهُ ".
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ma’iin, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami Wahb bin Jariir bin Haazim, ia berkata : Telah
menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Aku mendengar Yahyaa bin Ayyuub
menceritakan dari Yaziid bin Abi Habiib, dari ‘Abdul-‘Aziiz bin Abi Sha’bah,
dari Hanasy Ash-Shan’aaniy, dari Fadlaalah bin ‘Ubaid, ia berkata : Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang
ditumbuhi uban dalam jalan Allah, maka baginya cahaya kelak di hari kiamat”. Seorang
laki-laki bertanya kepada beliau : “Sesungguhnya beberapa orang laki-laki
mencabut uban”. Maka beliau bersabda : “Barangsiapa yang ingin mencabut
ubannya –
atau beliau bersabda : cahayanya” [Diriwayatkan
oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausathno. 5493].
Dhahir
larangan dalam riwayat ini menunjukkan keharaman mencabut uban. Begitu pula
dengan riwayat Anas radliyallaahu ‘anhu :
حَدَّثَنَا نَصْرُ
بْنُ عَلِيٍّ الْجَهْضَمِيُّ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْمُثَنَّى بْنُ
سَعِيدٍ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: " يُكْرَهُ أَنْ
يَنْتِفَ الرَّجُلُ الشَّعْرَةَ الْبَيْضَاءَ مِنْ رَأْسِهِ، وَلِحْيَتِهِ، قَالَ:
وَلَمْ يَخْتَضِبْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا
كَانَ الْبَيَاضُ فِي عَنْفَقَتِهِ، وَفِي الصُّدْغَيْنِ، وَفِي الرَّأْسِ نَبْذٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Nashr bin ‘Aliy Al-Jahdlamiy : Telah menceritakan
kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Al-Mutsannaa bin Sa’iid,
dari Qataadah, dari Anas bin Maalik, ia berkata : “Dibenci bagi seseorang
mencabut uban yang ada di kepala dan jenggotnya”. Ia juga berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menyemirnya. Uban beliau hanyalah
ada pada bawah bibir, kedua pelipis, dan sedikit yang tumbuh di kepala”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2341].
Hal
itu dikarenakan dalam nash dan terminologi salaf, makruh seringkali digunakan
dalam makna haram.
Misalnya
dalam firman Allah ta’ala :
كُلُّ ذَلِكَ كَانَ سَيِّئُهُ عِنْدَ رَبِّكَ مَكْرُوهًا
“Semua itu
kejahatannya amat dibenci (makruuh) di sisi Tuhanmu” [QS. Al-Israa’
: 38].
Maksudnya,
semua kejahatan yang tercantum dalam ayat-ayat sebelumnya berupa syirik,
durhaka pada orang tua, menghambur-hamburkan harta, zina, dan yang lainnya
adalah dibenci (makruh) di sisi Allah. Makruh di sini maknanya haram.
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ
الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ أَنْ تُؤْتَى رُخَصُهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ تُؤْتَى
مَعْصِيَتُهُ "
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami
‘Abdul-‘Aziiz bin Muhammad, dari ‘Umaarah bin Ghaziyyah, dari Naafi’, dari Ibnu
‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah menyukai
dilaksanakan rukhshah (keringanan)-Nya, sebagaimana Dia membenci dilaksanakan
maksiat kepada-Nya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/108;
shahih].
أَخْبَرَنَا أَبُو النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا وُهَيْبٌ، عَنْ
دَاوُدَ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنَّهُ كَانَ يَكْرَهُ إِتْيَانَ
الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ فِي دُبُرِهَا، وَيَعِيبُهُ عَيْبًا شَدِيدًا "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Wuhaib,
dari Daawud, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya ia membenci
seseorang yang mendatangi istrinya pada duburnya, dan mencelanya dengan keras”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1119; shahih].
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، نا هَمَّامٌ، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ
أَنَسٍ، قَالَ: " كَانَ يَكْرَهُ أَنْ يَبْنِيَ مَسْجِدًا بَيْنَ الْقُبُورِ "
Telah
menceritakan kepada kami Wakii : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaam, dari
Qataadah, dari Anas; ia (Qataadah) berkata : “Anas membenci membangun masjid di
antara kubur” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 7654; shahih].
Muhammad
bin Al-Hasan Asy-Syaibaaniy rahimahullah berkata :
لا يَنْبَغِي
لِلرَّجُلِ الْمُسْلِمِ أَنْ يَلْبَسَ الْحَرِيرَ، وَالدِّيبَاجَ وَالذَّهَبَ،
كُلُّ ذَلِكَ مَكْرُوهٌ لِلذُّكُورِ مِنَ الصِّغَارِ وَالْكِبَارِ
“Tidak
boleh bagi laki-laki muslim memakai sutera dan emas. Semuanya itu adalah makruh
bagi laki-laki, baik anak-anak ataupun orang tua” [Al-Muwaththa’
lil-Maalik bi-Riwaayati Muhammad bin Al-Hasan, 3/375].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :
وَكَذَلِكَ
الْمُسْتَحِلُّ لِإِتْيَانِ النِّسَاءِ فِي أَدْبَارِهِنَّ، فَهَذَا كُلُّهُ
عِنْدَنَا مَكْرُوهٌ مُحَرَّمٌ
“Dan
begitu pula dengan orang yang menghalalkan menjimai wanita dari duburnya, maka
semua ini adalah makruh lagi diharamkan di sisi kami” [Al-Umm, 6/227].
أَخْبَرَنَا
مَعْمَرٌ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، قَالَ: " كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ
مَنْفَعَةً فَهُوَ مَكْرُوهٌ "، قَالَ مَعْمَرٌ: وَقَالَهُ قَتَادَةُ
Telah
mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ayyuub, dari Ibnu Siiriin, ia berkata :
“Setiap pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah makruh”. Ma’mar berkata :
“Hal itu juga dikatakan oleh Qataadah” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no.
14657].
Setiap
pinjaman yang mendatangkan manfaat adalah riba, dan riba adalah haram.
Al-Haazimiy rahimahullah berkata :
وَأَمَّا الْحَلِفُ
بِغَيْرِ اللَّهِ: فَهُوَ مَكْرُوهٌ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْم
“Adapun
bersumpah dengan selain Allah, maka itu makruh menurut para ulama” [Al-I’tibaar, 2/782].
Oleh karena itu, tidak ada petunjuk
dari riwayat ini yang memalingkan asal keharaman yang ada pada nash sebelumnya.
Al-Hafidh Ibnu Hajar berkata :
وأن من العلماء من رخص فيه في الجهاد ومنهم من رخص فيه مطلقا
وأن الأولى كراهته، وجنح النووي إلى أنه كراهة تحريم،.
”Sebagian ulama’ ada yang memberikan
keringanan (menyemir dengan warna hitam) ketika berjihad. Sebagian lagi
memberikan keringanan secara mutlak. Yang lebih utama hukumnya adalah makruh.
Bahkan An-Nawawi menganggapnya MAKRUH yang lebih dekat kepada HARAM. [Fathul-Baari 10/354-355].