|
Add caption |
Beliau
adalah Abul-Hasan ‘Aliy bin Ismaa’iil bin Abi Bisyr Ishaaq bin Saalim bin
Ismaa’iil bin ‘Abdillah bin Muusaa bin Amir kota Bashrah, Bilaal bin Abi Burdah
bin shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Muusaa ‘Abdullah
bin Qais bin Hadlaar Al-Asy’ariy Al-Yamaaniy Al-Bashriy. Ibnu ‘Asaakir
membawakan riwayat dengan sanadnya sampai Abu Bakr Al-Wazaan bahwa Abul-Hasan
lahir pada tahun 260 H. Akan tetapi, ada ulama lain yang mengatakan tahun 270
H. Wafat pada tahun 324 H, sebagaimana dikatakan Ibnu Hazm [selengkapnya lihat
: Taariikh Baghdaad 13/260, Tabyiinul-Kadzibil-Muftariy, hal.
146, dan Siyaru A’laamin-Nubalaa’ 15/85 no. 51].
Abul-Hasan
telah menghabiskan banyak umurnya tenggelam dalam ilmu kalam, dan menjadi tokohnya,
dengan mengikuti madzhab Mu’tazillah. Akan tetapi Allah ta’ala telah
memberikan kepadanya hidayah sehingga rujuk kepada madzhab Ahlus-Sunnah dan
melaziminya. Bahkan setelah itu, beliau sangat aktif memberikan
bantahan-bantahan kepada madzhab yang telah ditinggalkannya itu.
Ibnu
Katsiir rahimahulah berkata :
“”Sesungguhnya
Al-Asy’ariy dulunya seorang Mu’taziliy, lalu bertaubat di kota Bashrah di atas
mimbar. Kemudian ia menampakkan kekeliruan dan kebobrokan Mu’tazilah” [Al-Bidaayah
wan-Nihaayah, 11/187].
Adz-Dzahabiy
rahimahullah berkata :
“Ketika telah pandai pengetahuannya akan
madzhab Mu’tazilah, ia kemudian malah membencinya dan berlepas diri darinya.
Dan tampillah ia di hadapan khalayak, lalu (mengumumkan) taubatnya kepada Allah
ta’ala dari pahamnya semula. Setelah itu, ia aktif membantah Mu’tazilah
dan membongkar kebobrokan-kebobrokan mereka. Telah berkata Al-Faqiih Abu Bakr
Ash-Shairafiy : ‘Dulu (orang-orang) Mu’tazilah mendongakkan kepala-kepala
mereka, hingga muncullah Al-Asy’ariy yang merintangi mereka di lubang semut
(sehingga ‘keok’)” [As-Siyar, 15/86].
Ibnu
‘Asaakir rahimahullah berkata :
“Abul-Qaasim Hajjaaj bin Muhammad
Ath-Tharaabulsiy dari kalangan penduduk Tharaablus, Maghrib, berkata : Aku
pernah bertanya kepada Abu Bakr Ismaa’iil bin Abi Muhammad bin Ishaaq Al-Azdiy
Al-Qairaawaniy yang dikenal dengan nama Ibnu ‘Azrah rahimahullah tentang
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Aku katakan kepadanya : ‘Telah
dikatakan kepadaku bahwasannya Abul-Hasan dulunya seorang Mu’taziliy. Dan
ketika rujuk/kembali, ia meningalkan bagi Mu’tazilah permasalahan rinci yang
tidak ia bahas ?’. Ibnu ‘Azrah berkata kepadaku : ‘‘Asy’ariy adalah syaikh kami
dan imam kami. Ia menganut madzhab Mu’tazilah selama empatpuluh tahun yang
selama itu ia menjadi imam bagi mereka. Lalu tiba-tiba ia tidak menampakkan
diri kepada khalayak (dan tinggal) di rumahnya selama limabelas hari. Setelah
itu ia keluar menuju masjid jaami’ dan berdiri di atas mimbar. Ia berkata : ‘Wahai
manusia sekalian, sesungguhnya aku tidak menampakkan diri di hadapan kalian
dalam beberapa hari ini karena aku meneliti. Banyak dalil terkumpul di sisiku,
namun aku tidak bisa menimbang yang hak atas yang baathil dan yang baathil atas
yang hak. Lalu aku memohon petunjuk kepada Allah tabaaraka wa ta’ala, lalu Ia
pun memberikan petunjuk kepadaku kepada i’tiqad yang aku yakini dalam
buku-bukuku ini. Aku menanggalkan seluruh ‘aqidahku yang dulu (Mu’tazilah)
sebagaimana aku tanggalkan bajuku ini’. Lalu ia pun menanggalkan bajunya
dan melemparkannya, dan memberikan beberapa bukunya kepada orang-orang….” [At-Tabyiin,
hal. 39].
Sayyid
Muhammad bin Muhamad Al-Husainiy Az-Zubaidiy rahimahullah yang terkenal
dengan julukan Murtadlaa Al-Hanafiy, berkata :
“Abul-Hasan
Al-Asy’ariy mengambil ilmu kalam dari gurunya, Abu ‘Aliy Al-Jubaaiy, pentolah
Mu’tazilah. Lalu ia meninggalkannya disebabkan mimpi yang ia lihat. Kemudian ia
rujuk dari Mu’tazilah dan menampakkan hal itu secara terang-terangan. Ia naik
ke atas mimbar Bashrah di hari Jum’at dan menyeru dengan suara yang lantang : ‘Barangsiapa
yang mengenalku, sungguh ia telah mengenalku. Dan barangsiapa yang belum
mengenalku, maka aku adalah Fulaan bin Fulaan. Dulu aku pernah berkata
Al-Qur’an itu makhluk, Allah tidak bisa dilihat di akhirat dengan penglihatan
mata, dan manusia menciptakan perbuatan mereka sendiri. Sekarang aku bertaubat
dari ‘aqidah Mu’tazilah dan (bahkan) membantah Mu’tazilah’. Kemudian ia
mulai membantah Mu’tazilah dan menulis buku-buku tentangnya…. Berkata Ibnu
Katsir : ‘Disebutkan bahwa Abul-Hasan mempunyai tiga keadaan (fase). Fase
Pertama, fase Mu’tazilah yang telah ia tinggalkan secara total. Fase
Kedua, menetapkan sifat ‘aqliyyah Allah, yaitu : Al-Hayaah (Hidup),
Al-‘Ilm (Mengetahui), Al-Qudrah (Berkuasa), Al-Iraadah (Berkehendak),
As-Sam’ (Mendengar), Al-Bashar (Melihat), dan Al-Kalaam
(Berkata-kata). Namun ia men-ta’wil sifat khabariyyah seperti Al-Wajh
(Wajah), Al-Yadain (Dua Tangan), Al-Qadam (Kaki), As-Saaq (Betis),
dan yang semisalnya. Fase Ketiga, menetapkan seluruh sifat Allah
tanpa takyif, tasybiih, dan membiarkannya menurut metode/manhaj
salaf. Dan itulah jalan yang ditempuhnya dalam Al-Ibaanah yang merupakan
tulisannya terakhir kali” [Ittihaafus-Saadah Al-Muttaqiin, 2/3 – melaui
perantaraan Abul-Hasan Al-Asy’ariy oleh Hammaad Al-Anshaariy – maktabah
saaid].
Adz-Dzahabiy
menyepakati adanya tiga fase dalam diri Abul-Hasan, namun dengan bahasa berbeda
:
“Ia
mempunyai tiga keadaan (fase) : Fase awal sebagai seorang Mu’tazilah, fase
seorang Ahlus-Sunah dalam sebagian perkara namun tidak di perkara lainnya, dan
fase secara umum ia berada di atas prinsip Ahlus-Sunnah. Itulah yang kami
ketahui dari keadaannya” [Al-‘Arsy, 1/400].
Akan
timbul pertanyaan menggelitik. Jika Abul-Hasan menyatakan rujuk dari ‘aqidah
Mu’tazilah, lantas dimana posisi rujuk beliau yang paling akhir ? Beberapa
ulama (Asyaa’irah) menjelaskan rujuknya beliau ini pada keyakinan Ibnu Kullaab
(atau disebut Fase Kullabiyyah). Jika merujuk pada perkataan Ibnu Katsiir di
atas, maka fase Kullaabiyyah itu menetapkan sebagian sifat Allah, dan menta’wil
sebagian yang lain. Fase Kullaabiyyah inilah yang kemudian mereka sebut sebagai
fase Ahlus-Sunnah (dan selanjutnya inilah yang ‘dianggap’ sebagai madzhab
Asyaa’irah), sekaligus fase terakhir dalam perjalanan kehidupan beliau rahimahullah.
Mereka tidak mengakui fase setelah Kullabiyyah, sebagaimana dijelaskan Ibnu
Katsiir sebelumnya.
Ibnu
‘Asaakir rahimahullah menukil perkataan Ibnu Abi Zaid Al-Qairawaaniy
yang menggolongkan Ibnu Kullaab sebagai tokoh Ahlus-Sunnah :
“Dan khabar yang sampai kepada kami
bahwasannya ia adalah seorang yang mengikuti sunnah (= Ahlus-Sunnah) dan banyak
membantah Jahmiyyah dan selain mereka dari kalangan ahlul-bida’. Ia adalah
‘Abdullah bin Sa’iid bin Kullaab” [At-Tabyiin, hal. 405].
Anyhow,
kita tidak menerima begitu saja tanpa ada satu bukti kuat yang mendasari.
Kebalikan dari pernyataan Ibnu Abi Zaid adalah Ibnu Khuzaimah sebagaimana
dinukil Adz-Dzahabiy :
“Ahmad bin Hanbal termasuk orang yang
paling keras permusuhannya terhadap ‘Abdullah bin Sa’iid bin Kullaab dan
rekan-rekannya semisal Al-Haarits (Al-Muhaasibiy) dan yang lainnya” [As-Siyar,
14/380].
Ibnu
Khuzaimah adalah imam di jamannya[1] dan lebih dekat dengan jaman Ahmad bin Hanbal
dibandingkan Ibnu ‘Asaakir ataupun Ibnu Abi Zaid rahimahumullah. Ini
sangat penting untuk diperhatikan karena Abul-Hasan Al-Asy’ariy sendiri berkata
:
“Perkataan kami yang kami berpendapat
dengannya dan beragama dengannya adalah : Berpegang teguh kepada kitab Rabb
kami ‘azza wa jalla, sunnah Nabi kami shallallaahu ‘alaihi wa aalihi
wa sallam, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, taabi’iin, dan
para imam hadits. Kami berpegang teguh dengan itu semuanya. Dan juga pada
pendapat yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal –
semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, dan membalasnya
dengan pahala – dan menyelisihi orang-orang yang menyelisihi pendapatnya“[Al-Ibaanah,
hal. 8-9].
Abul-Hasan
As-Subkiy rahimahullah pun mempersaksikan hal tersebut :
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy termasuk pembesar
Ahlus-Sunnah pasca Al-Imam Ahmad bin Hanbal. ‘Aqidahnya dan ‘aqidah Al-Imaam
Ahmad rahimahullah adalah satu. Tidak ada keraguan tentang hal itu.
Al-Asy’ariy telah menjelaskannya dalam banyak tulisannya dan menyebutkannya
berulang kali : ‘’Aqidahku adalah ‘aqidah Al-Imam Al-Mujabbal Ahmad bin
Hanbal’. Ini adalah ucapan Asy-Syaikh Abul-Hasan pada beberapa tempat
(dalam bukunya)” [Ath-Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah – melaui perantaraan Abul-Hasan
Al-Asy’ariy oleh Hammaad Al-Anshaariy – maktabah saaid].
Selain
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qudaamah Al-Maqdsiy Al-Hanbaliy rahimahumallah juga
berkata :
“Termasuk
bagian dari sunnah adalah meninggalkan ahlul-bida’ dan menjauhi mereka.
Tidak melakukan perdebatan dengan mereka di dalam agama, meninggalkan kitab-kitab
yang berisi ajaran bid’ah dan tidak mendengar pembicaraan mereka. Dan setiap
perkara yang baru dalam agama adalah bid’ah. Setiap orang yang memakai
ciri-ciri selain Islam dan sunnah adalah mubtadi’, seperti : Raafidlah,
Jahmiyyah, Khawaarij, Al-Qadariyyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karraamiyyah, Kullaabiyyah,
dan yang semisal dengannya. Semua itu adalah kelompok yang sesat dan golongan
ahlul-bida’. Kita berlindung kepada Allah darinya” [Syarh Lum’atul-I’tiqaad
li Ibni Qudaamah oleh Shaalih Al-Fauzaan, hal. 264-284].
Namun
begitu, sebagaimana telah disebutkan, madzhab Ibnu Kullaab menetapkan banyak
sifat-sifat Allah yang lebih berkesesuaian dengan madzhab salaf. Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata :
“’Abdullah
bin Sa’id bin Kullaab Al-Bashriy yang menulis banyak karangan yang membantah kelompok
Jahmiyah, Mu’tazilah, dan yang lainnya, merupakan ahli kalam yang menetapkan
sifat-sifat Allah (shifaatiyyah)….. Dan orang yang mengikutinya adalah
Al-Haarits Al-Muhaasibiy, Abul-‘Abbaas Al-Qalaanisiy, kemudian Abul-Hasan
Al-Asy’ariy” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 12/366].
Adz-Dzahabiy
mengatakan tentangnya :
“Seorang
laki-laki ahli kalam yang lebih dekat kepada sunnah (Ahlus-Sunnah), bahkan ia
termasuk ahli debat mereka” [As-Siyar, 11/175].
Perkataan
Adz-Dzahabiy ‘lebih dekat kepada sunnah (Ahlus-Sunnah)’ secara dhahir
menjelaskan bahwa dalam beberapa pokok permasalahan tertentu, ia menyelisihi
pokok-pokok ‘aqidah Ahlus-Sunnah.[2]
Dikarenakan
saya tidak akan membahas tentang Ibnu Kullaab atau Kullaabiyah secara khusus,
maka dalam artikel ini saya tidak akan berpanjang-panjang dalam memberikan
keterangan tentang Ibnu Kullaab dan Kullaabiyyah.[3]
Kembali
pada judul tulisan ini. Kemana gerangan tambatan terakhir Abul-Hasan
Al-‘Asy’ariy pasca pertaubatannya dari Mu’tazilah ? Ke dalam ‘aqidah Asyaa’irah
ataukah ‘aqidah salaf (yang disebut sebagian Asyaa’irah sebagai ‘mujassimah’[4] –
karena menetapkan dhahir sifat Allah).
Salah
satu cara yang paling ‘adil adalah dengan mengkomparasikannya, terutama pada
hal-hal pokok masalah keimanan (yang membedakan antara Ahlus-Sunnah dengan
selainnya). Kita akan sedikit terbantu dengan pernyataan Abul-Hasan Al-Asy’ariy
bahwa madzhabnya dalam masalah ‘aqidah adalah madzhab Al-Imaam Ahmad bin Hanbal
rahimahumalaah. Akan saya contohkan beberapa masalah yang sering dibahas
sengit di berbagai kesempatan (yaitu dalam sebagian lingkup tauhid al-asmaa’
wash-shifaat) :
1. Masalah penetapan sifat dzaatiyyah
Allah ta’ala seperti wajah, tangan, kaki, dan semisalnya.
Abul-Hasan
Al-Asy’ariy menjelaskan posisinya dalam hal ini :
“Hukum dari (makna) firman Allah ta’ala adalah
sesuai dengan dhahir dan hakekatnya. Tidak boleh dipalingkan sedikitpun
dari makna dhahirnya kepada makna majaaz kecuali dengan hujah… Begitu pula
dengan makna firman Allah ta’ala : ‘kepada yang telah Aku ciptakan
dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75) adalah sebagaimana dhahirnya
dan hakekatnya dari penetapan sifat dua tangan (Allah)…. Bahkan wajib untuk
menjadikan makna firman Allah ta’ala : ‘kepada yang telah Aku
ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ untuk menetapkan dua tangan untuk Allah ta’ala
secara hakekatnya, bukan dengan makna dua nikmat. Karena dalam
bahasa ‘Arab tidak boleh seseorang mengatakan : ‘amiltu bi-yadai (aku
berbuat dengan dua tanganku), dengan makna dua nikmat” [Al-Ibaanah, hal.
41].
Setali
tiga uang ‘aqidah Abul-Hasan adalah ‘aqidah Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah
sebagaimana tertera dalam Kitaabul-‘Aqiidah saat menjelaskan sifat
wajah :
“Dan madzhab Abu ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal radliyallaahu
‘anhu, bahwasannya Allah ‘azza wa jallaa mempunyai wajah yang tidak
seperti bentuk-bentuk (makhluk-Nya) dan benda-benda yang terlukis. Bahkan sifat
wajah telah Ia sifatkan dengan firman-Nya : ‘segala sesuatu pasti binasa
kecuali wajah-Nya’ (QS. Al-Qashshaash : 88). Dan barangsiapa yang mengubah
maknanya, sungguh ia telah berbuat ilhad kepada-Nya. Sifat wajah itu
menurutnya (Al-Imam Ahmad) adalah sebagaimana hakekatnya, bukan dalam makna
majaz” [Kitaabul-‘Aqiidah, riwayat A-Khallaal, hal. 103].
Ibnu
‘Abdil-Barr – sebagaimana dikutip oleh Adz-Dzahabiy dalam kitab Al-‘Ulluw –
berkata :
“Ahlus-Sunnah
telah bersepakat untuk mengakui sifat-sifat yang tertuang dalam Al-Kitab
dan As-Sunnah dan membawanya kepada makna hakekat, tidak kepada makna majaaz.
Namun, mereka tidak men-takyif sesuatupun dari sifat-sifat tersebut.
Adapun Jahmiyah. Mu’tazilah, dan Khawaarij; semuanya mengingkarinya dan tidak
membawanya kepada makna hakekatnya. Dan mereka menyangka bahwa siapa saja yang
mengatakannya (yaitu membawa makna sifat Alah sesuai dengan hakekatnya) berarti
telah menyerupakan-Nya dengan makhluk. Padahal, mereka di sisi orang yang
menetapkan sifat Allah secara hakiki, sama saja menafikkan yang disembah (yaitu
Allah)” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 268-269 no. 328].
Jumhur
Asyaa’irah dalam hal ini menerapkan metode tafwiidl (menyerahkan
maknanya kepada Alah ta’ala) dan sebagian mereka memilih metode ta’wiil.
Namun mereka sepakat menolak menetapkan sifat Allah sebagaimana dhahirnya atau
hakekatnya (haqiqiy). Cukuplah satu bait syi’ir dalam kitab Al-Jauharah
berikut sebagai bukti :
“Setiap
nash yang mengandung penyerupaan (terhadap makhluk)
takwilkanlah
atau serahkanlah dan berishkanlah Allah (dari kekurangan)”.
Dan
inilah praktek ta’wil Asyaa’irah yang diwakili oleh Abu Manshuur ‘Abdul-Qaahir
Al-Baghdaadiy Al-Asy’ariy rahimahullah :
“Sebagian
shahabat kami memang telah melakukan ta’wil dalam perkara ini – yaitu ta’wil
sifat tangan dengan kekuasaan (qudrah) - . Hal itu shahih dalam madzhab”
[Ushuuluddiin, hal. 111].
Hampir
menjadi satu kenyataan aksiomatik jika ada orang yang menetapkan sifat dua
tangan kepada Allah ta’ala secara hakiki, tuduhan-tuduhan mujassimah/musyabihah
akan nyasar kepadanya, terutama sekali dari lisan-lisan Asy’aariyyuun.
Kesimpulan
kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah
pada point ini secara umum berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah.
2. Masalah penetapan sifat istiwaa’
dan fauqiyyah Allah ta’ala.
Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :
“Allah ta’ala juga berfirman mengenai
hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah
bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu)
pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta" (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun
mendustakan Musa ‘alaihis-salaam yang mengatakan : ‘Sesungguhnya
Allah subhaanahu wa ta’ala berada di atas langit. Allah ‘azza wa
jallaa berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di
langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk :
16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’
di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang
berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud
jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ;
yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak
semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah ta’ala menyebutkan
langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai
cahaya’ (QS. Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi
seluruh langit dan berada di seluruh langit. Dan kami melihat seluruh kaum
muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena
(mereka berkeyakinan) bahwa Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas
‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah ‘azza wa
jallaa tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan
tangan mereka ke arah ‘Arsy” [Al-Ibaanah, hal. 33-34].
Tidak
berbeda dengan yang dikatakan oleh Al-Imaam Ahmad bin Hanbal, sebagaimana
dibawakan oleh Ibnu Abi Ya’laa rahimahumallaah :
“Dikatakan
kepada Abu ‘Abdillah : ‘(Apakah) Allah ta’ala berada di atas langit
yang tujuh, di atas ‘Ars-Nya, terpisah dari makhluk-Nya. Adapun
Kekuasan-Nya dan Ilmu-Nya berada di setiap tempat ?’. Beliau menjawab : ‘Benar,
(Allah) berada di atas ‘Arsy-Nya. Tidak ada sesuatupun yang luput dari
Ilmu-Nya” [Thabaqaat Al-Hanaabilah 1/341 – melalui perantaraan Al-Masaailu
war-Rasaailu Al-Marwiyyatu ‘an Al-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah, 1/318 no. 306].
Adapun
pendapat Asyaa’irah sebagai berikut :
“Tujuan penulisan dari pasal ini adalah untuk menetapkan bahwa Allah
tidak membutuhkan tempat dan arah. Berbeda dengan kaum Karramiyyah, Hasyawiyyah
dan Musyabbihah yang mengatakan bahwa Allah berada di arah atas. Bahkan
sebagian dari kelompok-kelompok tersebut mengatakan bahwa Allah bertempat atau
bersemayam di atas arsy. Jelas mereka kaum yang sesat. Allah Maha
Suci dari keyakinan kelompok-kelompok tersebut.
Dalil akal bahwa Allah Maha Suci dari tempat adalah karena apabila
ia membutuhkan kepada tempat maka berarti tempat tersebut adalah qadim
sebagaimana Allah Qadim. Atau sebaliknya, bila Allah membutkan tempat maka
berarti Allah baharu sebagaimana tempat itu sendiri baharu. Dan kedua pendapat
semacam ini adalah keyakinan kufur.
Kemudian bila Allah bertempat atau bersemayam di atas arsy, seperti yang
diyakini mereka, maka berarti tidak lepas dari tiga keadaan. Bisa sama besar
dengan arsy, atau lebih kecil, dan atau lebih besar dari arsy. Dan semua
pendapat semacam ini adalah kufur, karena telah menetapkan adanya ukuran,
batasan dan bentuk bagi Allah.
Dalil akal lain bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah ialah jika kita
umpamakan sewaktu-waktu seseorang telah diberi kekuatan besar oleh Allah untuk
dapat naik terus menerus ke arah atas maka -sesuai keyakinan golongan sesat di
atas- ia memiliki dua kemungkinan; bisa jadi ia sampai kepada-Nya atau bisa
jadi ia tidak sampai. Jika mereka mengatakan tidak sampai maka berarti mereka
telah menafikan adanya Allah. Karena setiap dua sesuatu yang ada antara
keduanya pasti memiliki arah dan jarak. Dan seandainya salah satunya memotng
jarak tersebut dengan terus menerus mendekatinya namun ternyata tidak juga
sampai maka berati sesuatu tersebut adalah nihil; tidak ada. Kemudian jika
mereka mengatakan bahwa orang yang naik tersebut bisa sampai kepada-Nya maka
berarti dalam keyakinan mereka Allah dapat menempel dan dapat disentuh, dan ini
jelas keyakinan kufur. Kemudian dari pada itu, keyakinan semacam ini juga
menetapkan adanya dua kekufuran lain. Pertama; berkeyakinan bahwa alam ini
qadim, tidak memiliki permulaan. Karena -dalam keyaikinan kita- salah satu
bukti yang menunjukan bahwa alam ini baharu ialah adanya sifat berpisah dan
bersatu padanya. Kedua; keyakinan tersebut sama juga dengan menetapkan
kebolehan adanya anak dan isteri bagi Allah” [dari perkataan Abu
Sa’iid Al-Mutawalliy dalam Al-Ghun-yah fii Ushuliddiin – dinukil dari
blog Asyaa’irah dalam negeri : http://allahadatanpatempat.wordpress.com/2010/05/28/dari-pernyataan-ulama-ahlussunnah-dalam-menjelaskan-bahwa-allah-ada-tanpa-tempat-dan-tanpa-arah-mewaspadai-ajaran-wahhabi/].
Jawaban
khas ‘aqlaniyyah.
Abul-Hasan
Al-Asy’ariy sangat mengingkari ta’wil istiwaa’ dengan istilaa’
(menguasai) sebagaimana perkataannya :
“Mu’tazilah berkata bahwasannya Allah ber-istiwaa’
di atas ‘Arsy-Nya dengan makna berkuasa (istaulaa)” [Maqaalaatul-Islaamiyyiin,
1/284].
“Begitu pula apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna
menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan
: ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang
pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah
ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu,
terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas
‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [Al-Ibaanah, hal. 34].
Kebalikannya,
Asyaa’irah malah menetapkannya :
“Jika ada yang mengatakan bahwa memaknai istawa dengan istaula
(menundukkan) memberikan pemahaman bahwa seakan-akan Allah sebelumnya tidak
menguasai arsy lalu kemudian Allah menundukkan dan menguasainya, Jawab; Jika
demikian bagaimana dengan firman Allah: Wa Huwa al-Qahur Fawqa ’Ibadih” (QS.
al-An’am: 18), yang dengan jelas mengatakan bahwa Allah menguasai para
hamba-Nya, adakah itu berarti sebelum Allah menciptakan para hamba tersebut Dia
tidak menguasai mereka?! Adakah itu berati Allah tidak menguasai mereka lalu
kemudian menguasai dengan menundukkan mereka?! Bagaimana mungkin dikatakan
demikian, padahal para hamba itu adalah makhluk-makhluk yang baru, Allah yang
menciptakan mereka dari tidak ada menjadi ada. Justru sebaliknya, –kita katakan
kepada mereka– (kaum Musyabbihah): Jika makna ayat tersebut seperti yang kalian
dan orang-orang bodoh sangka bahwa Allah bertempat dengan Dzat-Nya di atas
arsy, maka itu berarti menurut kalian Allah berubah dari satu keadaan kepada
keadaan yang lain, karena arsy itu makluk Allah. Artinya menurut pendapat
kalian Allah berubah dari tidak butuh kepada arsy kemudian menjadi butuh
kepadanya setelah Dia menciptakannya. (Dengan demikian harus dipahami bahwa
arsy itu baru, sementara istawa adalah sifat Allah yang azali). Maka itu, makna
bahwa makna Allah Maha Tinggi adalah dalam pengertian keagungan dan derajat-Nya,
bukan dalam pengertian tempat, karena Allah Maha Suci dari membutuhkan kepada
tempat dan arah” [Ithaf
as-Sadah al-Muttaqin Bi Syarh Ihya’ ’Ulumiddin, j. 2, h. 108-109 – dinukil dari blog Asyaa’irah
dalam negeri : http://salafiah.net/content/aqidah-ahlussunnah-allah-ada-tanpa-tempat-wahhabiyyah-musyabbihah-menyelewengkan-firman-alla].
Para
ulama salaf, tidak mengenal pengartian istiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai).
Muhammad bin Ahmad bin Nadlr bin Binti Mu’awiyyah bin ’Amru rahimahullah
berkata :
Abul-Hasan
Al-Asy’ariy berhujjah dengan hadits Mu’aawiyyah bin Al-Hakam radliyallaahu
‘anhu tentang sifat istiwaa’ Allah ta’ala di atas ‘Arsy,
dengan perkataannya :
“Dan para ulama meriwayatkan bahwasannya ada
seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan
budak perempuannya yang berkulit hitam. Ia berkata : ‘Wahai Rasulullah,
sesungguhnya aku ingin membebaskannya untuk kaffarah. Apakah aku boleh
membebaskannya ?’. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya
kepada budak tersebut : ‘Di manakah Allah ?’. Budak itu menjawab : ‘Di
langit’. Beliau kembali bertanya : ‘Siapakah aku ?’. Ia menjawab :
‘Engkau adalah utusan Allah’. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: ‘Bebaskanlah ia, karena sesungguhnya ia wanita mukminah’. Hadits
ini menunjukkan bahwa Allah ‘azza wa jalla di atas ‘Ars-Nya yang berada
di atas langit” [Al-Ibaanah, hal. 36-37].
Kesimpulan
kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah
pada point ini berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah.
3. Masalah Kalaamullah.
Abul-Hasan
Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :
“Baab
: Perkataan bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalaamullah bukanlah makhluk.
Apabila ada orang yang bertanya tentang dalil bahwasannya Al-Qur’an adalah Kalaamullah,
bukan makhluk. Katakanlah kepada mereka : Dalil akan hal itu adalah firman-Nya ‘azza
wa jalla dari ayat-Nya : ‘Dan di antara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah
berdirinya langit dan bumi dengan perintah-Nya’ (QS. Ruum : 25). Perintah
Allah di sini adalah kalaam-Nya. …[Al-Ibaanah, hal. 20].
Adapun
Asyaa’irah, maka mereka membuat teori pemisahan antara makna dan lafadh.
Al-Baijuuriy rahimahullah berkata :
“Madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (maksudnya : madzhab Asyaa’irah)
menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-kalaamun-nafsiy (yaitu
: yang berasal dari diri Allah ta’ala) bukanlah makhluk. Adapun
Al-Qur’aan dengan makna lafadh yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan
tetapi terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk - yang dimaksudkan
dengannya adalah lafadh yang kita baca, kecuali dalam konteks pengajaran.
Karena, perkataan tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya
ta’ala (al-kalaamun-nafsiy – Abul-Jauzaa’) adalah
makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang terhadap perkataan Al-Qur’an
adalah makhluk” [Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa Jauharit-Tauhiid. 160].
“Kesimpulan (dari pembicaraan ini), bahwa setiap nash yang
nampak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah menunjukkan huduutsul-Qur’aan
(maksudnya : kemakhlukan Al-Qur’an – Abul-Jauzaa’) dibawa pada
pengertian lafadh yang terbaca, bukan pada al-kalaamun-nafsiy. Akan
tetapi tetap terlarang untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk, kecuali
dalam konteks pengajaran sebagaimana yang telah lalu (penyebutannya)” [idem,
hal. 162].[6]
Konsekuensi
dari ‘aqidah ini, Asyaa’irah mengeluarkan lafadh yang terdiri dari huruf dan
suara dari cakupan Kalaamullah. Dengan kata lain, Allah tidaklah
berfirman dengan huruf dan suara, karena keduanya adalah makhluk. Mereka
(Asyaa’irah) berkata :
“Kalaamullah adalah kalam nafsi tanpa
huruf, tanpa suara, tidak terurai, dan tidak terbagi. Padana tidak terdapat
perintah dan larangan, bukan khabar dan bukan pula meminta khabar. Adapun
Taurat, Injil, dan Al-Qur’an; bukan firman Allah secara hakiki, akan tetapi
semuanya makhluk, hanya saja itu adalah firman Allah secara majaziy (kiasan)
karena menunjukan kepada kalam nafsiy Allah” [I’tiqaad Ahlis-Sunnah Syarh
Ashhaabil-Hadiits, oleh Dr. Al-Khumais, hal. 67].
Al-Baaqilaaniy
berkata :
???
???? ?? ???? ??? ????? ??? ?? ?????? ????? ?? ??? ??? ???
“Dan
tidak boleh memutlakkan firman-Nya dari tanda-tanda kemakhlukan seperti huruf
dan suara” [Al-Inshaaf, hal. 111 – melalui Al-Asyaa’irah fii Mizaani
Ahlis-Sunnah hal. 486].
Al-Baijuuriy
berkata tentang sifat kalam bagi Allah ta’ala :
“Sifat azaliyyah yang ada pada Dzat-Nya
ta’ala tidaklah dengan huruf dan suara” [Syarh Jauharut-Tauhiid,
hal. 129 – melaui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah
hal. 486].
PCI
NU Mesir dalam artikel yang dibawakan oleh Drs. Hamzah Harun Al-Rasyid
menegaskan :
“Asy’ari dalam menanggapi pendapat itu meninjaunya kepada dua aspek.
Pertama: Kalam Nafsi, yaitu esensi yang berada pada zat Tuhan, dan kedua: Kalam
Lafzhy, yaitu indikator-indikator yang menunjukkan kepada esensi tersebut,
termasuk diantaranya lafazh-lafazh dan huruf-huruf serta suara-suara yang
diturunkan Allah kepada Nabi- nabi-Nya. Asy’ari mengatakan: Yang pertama adalah
Qadim dan yang kedua adalah Hadits (baru) dan makhluq, tidak kekal” [lihat
: http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/jurnal/isjurnal/nuansa/Apr97/1.htm].
Ini
adalah pembagian bid’ah yang tidak pernah dikatakan siapapun sebelumnya. Tidak
Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Al-Haarits Al-Muhaasibiy, atau bahkan Jahmiyyah.
Al-Qur’an
adalah kalaamullah yang terdiri dari huruf dan suara. Kalam-Nya
dapat didengar oleh siapa saja yang Ia kehendaki dari makhluk-Nya. Inilah
madzhab salaf.
‘Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal rahimahullah berkata :
“Aku bertanya kepada ayahku rahimahullah
tentang satu kaum yang berkata : ‘Ketika Allah ‘azza wa jalla berbicara
kepada Musa, Ia tidak berbicara dengan suara’. Maka ayahku berkata : ‘Akan
tetapi, sesungguhnya Rabb kalian ‘azza wa jala berbicara (kepada Musa)
dengan suara. Hadits-hadits ini kami riwayatkan sebagaimana datangnya” [As-Sunnah
32/ - melalui perantaraan Al-Masaailu war-Rasaailu Al-Marwiyyatu ‘an
Al-Imaam Ahmad fil-‘Aqiidah, 1/302 no. 288].
Inilah
yang keyakinan Al-Imaam Ahmad yang diacu oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahumallah.
Kesimpulan
kita, ‘aqidah Abul-Hasan Al-Asy’ariy dan Ahmad bin Hanbal rahimahumallaah
pada point ini berbeda dengan ‘aqidah Asyaa’irah.
Saya
cukupkan artikel sampai di sini. Saya yakin para Pembaca dapat menyimpulkan,
kemanakah gerangan taubat Abul-Hasan Al-Asy’ariy ? ke pangkuan ‘aqidah
Asy’ariyyah atau ‘aqidah Salafiyah Ahlus-Sunnah ?
Betapapun urgen mengetahui 'aqidah Asyaa'irah
dan Maaturidiyyah, sebenarnya lebih penting mengetahui 'aqidah Salaf itu
sendiri. Adapun pengetahuan lain dari itu merupakan pengetahuan tambahan dari
pengetahuan pokok.
Di antara banyak persamaannya, ada beberapa perbedaan Asyaa'irah dan
Maaturidiyyah, antara lain :
1. Tentang Kalaamullah. Asyaa'irah menyatakan bahwa Kalam Nafsiy itu dapat
didengar dalam arti dapat dipahami. Maaturidiyyah menyatakan Kalam Nafsiy itu
ndak dapat didengar - dan terkait dengan firman Allah kepada Musa, maka
Maturidiyyah berkata bahwa yang didengar Musa adalah suara yang diciptakan
melalui sebatang pohon. Di sini, Maaturidiyyah di satu sisi memiliki kesamaan
dengan Mu'tazilah.
2. Asyaa'irah membolehkan istitsnaa' dalama masalah iman, sedangkan Maaturidiyyah
melarangnya.
3. Asyaa'irah tidak membenarkan keimanan seorang muqallid, sedangkan
Maaturidiyyah membenarkannya.
4. Tentang permasalahan : "Apakah ma'rifatullah itu wajib dengan syara'
atau dengan akal ?". Asyaa'irah mengatakan wajib dengan syara', Maaturidiyyah
wajib dengan akal.
5. Asyaa'irah berpendapat para Nabi itu ma'shum dari dosa besar namun tidak
dosa kecil, sedangkan Maaturidiyyah ma'shum dari dosa besar dan kecil.
Wallaahu
ta’ala a’lam.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :
“Jalan yang ia tempuh cenderung kepada madzhab
Ahlul-Hadits dan Sunnah. Akan tetapi, padanya masih tercampur dengan
kebid’ahan; karena di samping ia menetapkan sifat-sifat dzatiyah Alah,
ia tidak menetapkan perkara-perkara ikhtiyariyyah bagi Dzat Allah. Akan
tetapi ia mempunyai bantahan terhadap firqah Jahmiyyah – yang menafikkan
sifat-sifat Allah dan ke-Maha Tinggi-an-Nya – dengan dalil dan hujjah,
merupakan bukti bahwa ia mempunyai keutamaan dalam permasalahan ini. Dan apa
yang ia sebutkan kemudian menjadi perangkat pembantu intektual bagi banyak
ulama yang punya akal untuk menghabisi syubhat-syubhat Jahmiyyah, sehingga Ibnu
Kullaab menjadi teladan dan imam bagi orang-orang yang datang kemudian karena
cara pandang ini, yaitu mereka yang menetapkan sifat-sifat Allah dan membantah
orang yang menafikkannya. Sekalipun mereka menjadi ikut serta mengikuti
dasar-dasar metode mereka yang rusak, yang akan mengakibatkan rusaknya sebagian
pandangan-pandangan mereka secara akal, dan bertentangan dengan sunnah
Rasululah shalallaahu ‘alaihi wa sallam” [Majmuu’ Al-Fataawaa,
12/366].
Ada satu buku khusus yang membahas tentang
Kullaabiyyah dengan judul : Araaul-Kulaabiyyah Al-‘Aqadiyyah wa
Atsaruhaa fil-Asy’ariyyah fii Dlaui ‘Aqiidati Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah
karya Hudaa binti Naashir bin Muhammad Asy-Syalaaliy; Maktabah Ar-Rusyd, Cet.
Thn. 1420 (yang saya miliki).
Sebenarnya ini tuduhan ngawur tanpa
bukti. Tidak lain tuduhan mujassimah-musyabbihah ini karena ‘aqidah
salaf bertentangan dengan ‘aqidah Asyaa’irah.
Telah
berkata Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy (w. 449 H) :
“Tanda-tanda
bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang
paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu
para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang
bodoh, dhahiriyyah, dan musyabbihah. Mereka meyakini bahwa
hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa
yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak
mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan,
dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan
hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [‘Aqiidatu Ashhaabil-Hadiits, hal. 102].
Mereka
(ulama Asyaa’irah) juga mengklaim ‘aqidah Asyaa’rah merupakan interpretasi
‘aqidah Ahlus-Sunnah, sebagaimana perkataan Az-Zubaidiy rahimahullah :
“Apabila
dimutlakan (kata) Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, maka maksudnya adalah Al-Asyaa’irah
dan Al-Maaturidiyyah” [Ittihaafus-Saaddah Al-Mutaqiin, 2/6-7].
Bagaimana
bisa diterima jika para ulama sebelum Az-Zubaidiy banyak yang mencela
Al-Asyaa’irah ?
Ibnu
‘Abdil-Barr, misalnya, yang menukil perkataan pembesar madzhab Maalikiyyah
awal, Ibnu Khuwaiz-Mindad rahimahumallaah :
“Tidak diperbolehkan menerima persaksian ahlul-bida’
dan pengikut hawa nafsu… Pengikut hawa nafsu menurut Maalik (bin Anas) dan
seluruh shahabat kami adalah adalah para ahli kalam. Maka, setiap ahli kalam
termasuk pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah, apakah ia seorang Asy’ariy
atau selain Asy’ariy (pengikut madzhab Asya’irah). Dan tidak diterima
persaksiannya dalam Islam selamanya. Wajib untuk di-hajr dan diberi
peringatan atas bid’ah mereka” [Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlihi, no.
1800].