Sabtu, 14 Maret 2015

SYUBHAT SYIAH : JAMA' TANPA UDZUR




SYUBHAT SYIAH : Pembahasan pertama dimulai dari pertanyaan apakah patut menjadi kebiasaan para pekerja seperti tukang becak, petani dan lain-lain untuk shalat tiga waktu dengan menjama’ nya karena alasan pekerjaan?.
Jawaban pertanyaan ini sebenarnya sederhana, patut ataukah tidak itu harus ditimbang dengan kacamata Syari’at. Kalau syari’at membolehkan hal tersebut maka ya tidak ada masalah. Tidak perlu ngalor ngidul bicara soal lalai dalam shalat atau dimana rasa syukur kita. Shalat itu perkara yang diatur tatacaranya, nah kalau memang ada aturan syari’at yang membolehkan shalat jama’ karena ada hajat atau keperluan maka melaksanakannya bukan berarti lalai atau tidak bersyukur kepada Allah SWT. Apalagi jika perkara menjama’ shalat ini dianggap mempermainkan Syari’at agama justru ucapan seperti ini hanya muncul dari orang yang tidak mengerti syari’at agama.
Komentar : iya memakai kaca mata syariat bukan kaca mata syiah pelaknat.hukum syariat berputar sesuai ‘illat,memang susah dialog dg pembenci ulama’ dan kaidah ulama’,malah berpegang tafsir hawa nafsu belaka.kalau tafsir tidak dalam bimbingan ulama’ udah pasti dalam bimbingan syetan laknatulloh.
SYUBHAT SYIAH : Pembahasan kedua apakah hukumnya menjama’ shalat dengan alasan pekerjaan tanpa adanya uzur?. Jawabannya boleh, sedangkan orang yang mengatakan haram maka ia telah menentang sunnah Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] yang jelas dan terang benderang.
Komentar : dimana nabi membolehkan,itu Cuma dari kantong ente sendiri.justru ente menyelisihi petunjuk nabi,kalau tanpa udzur boleh,untuk apa menunjukkan adanya udzur syar’i.Cuma logika syiah yg sakit yg bisa menerima.
SYUBHAT SYIAH :

وحدثنا أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد بن زيد عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس أن رسول الله صلى الله عليه و سلم صلى بالمدينة سبعا وثمانيا الظهر والعصر والمغرب والعشاء

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat yaitu Zhuhur Ashar dan Maghrib Isya’ [Shahih Muslim 1/490 no 705]
Komentar : kalau Cuma bermodalkan hadits ini lalu menyimpulkan boleh tanpa udzur???lafadz yg mana yg menunjukkan? kalau gak ada qorinah ya kembali ke hukum asal,kan begitu?bukan ditafsiri tanpa udzur.sungguh lucunya.
SYUBHAT SYIAH : Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy membuat-buat syubhat bahwa shalat jama’ yang dimaksud adalah jama’ shuri bukan jama’ yang sebenarnya. Maksudnya Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di akhir waktu Zhuhur kemudian shalat Ashar di awal waktu, seolah-olah kelihatan menjamak tetapi sebenarnya dilakukan pada waktunya sendiri-sendiri. Begitu pula Beliau [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat Maghrib di akhir waktu kemudian shalat Isya’ di awal waktu.
Komentar : itu bukan syubhat, tapi pendapat ulama’ mu’tabar.justru pendapat ente yg ngawur yg kena syubhat syiah suka melaknat  akhirnya terlaknat.
SYUBHAT SYIAH : Al Amiriy berhujjah dengan riwayat berikut, ia berkata
Dan hal ini dinyatakan oleh Ibnu Abbas sendiri selaku perawi hadits yang sedang kita bahas diatas. Ibnu Abbas berkata:

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا، وَسَبْعًا جَمِيعًا أَخَّرَ الظُّهْرَ، وَعَجَّلَ العَصْرَ، وَعَجَّلَ العِشَاءَ، وَأَخَّرَ المَغْرِبَ

Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam 8 rakaat sekaligus dan 7 rakaat sekaligus. Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mempercepat shalat isya dan mengakhirkan shalat maghrib” HR. Bukhari Muslim
Sebenarnya kami cukup heran dengan penukilan hadisnya. Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy telah berdusta atas sumber nukilan hadis tersebut. Kami tidak menemukan adanya riwayat Bukhariy dan Muslim dengan lafaz yang demikian. Riwayat yang dinukil Al Amiriy adalah riwayat Nasa’iy bukan riwayat Bukhariy dan Muslim

أخبرنا قتيبة بن سعيد ، قَالَ : حَدَّثَنَا سُفْيَان , عَنْ عمرو , عَنْ جابر بن زيد عَنِ ابن عباس , قَالَ : صليت مع النبي بالمدينة ثمانيًا جميعًا وسبعًا جميعًا ؛ أخر الظهر وعجل العصر , وأخر المغرب وعجل العشاء

Telah mengabarkan kepada kami Qutaibah bin Sa’iid yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’ [Sunan Nasa’iy Al Kubra no 375]
Riwayat ini sanadnya shahih tetapi lafaz “Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa” bukan bagian dari perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraj [sisipan] dari perawi hadis. Buktinya ada pada riwayat berikut

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَمْرٍو قَالَ سَمِعْتُ أبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا قَالَ سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا قُلْتُ يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ أَظُنُّهُ أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ قَالَ وَأَنَا أَظُنُّهُ

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdullah yang berkata telah menceritakan kepada kami Sufyaan dari ‘Amru yang berkata aku mendengar Abul Sya’tsaa’ Jaabir yang berkata aku mendengar Ibnu ‘Abbaas [radiallahu ‘anhum] berkata aku shalat bersama Nabi di Madinah delapan rakaat sekaligus dan tujuh rakaat sekaligus. ‘Amru berkata “wahai Abul Sya’tsaa’ aku mengira Beliau mengakhirkan shalat Zhuhur dan mempercepat shalat Ashar, mengakhirkan shalat Maghrib dan mempercepat shalat ‘Isyaa’. [Abu Sya’tsaa’] berkata “aku juga mengiranya demikian” [Shahih Bukhariy 2/58 no 1174].
Oleh karena itu nampak jelas kekeliruan Asy Syaukaniy yaitu ulama yang dikutip oleh Al Amiriy perkataannya
Komentar : sungguh lucunya,sejak kapan menukil idroj berarti pendapatnya keliru, perawi hadits tentu lebih mengerti pake bangeet daripada kesimpulan ente yg konyol itu.
SYUBHAT SYIAH : Imam Syaukani Rahimahullah berkata:

وَمِمَّا يَدُلّ عَلَى تَعْيِين حَمْل حَدِيثِ الْبَابِ عَلَى الْجَمْع الصُّورِيّ مَا أَخْرَجَهُ النَّسَائِيّ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ بِلَفْظِ: «صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا، وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْر وَعَجَّلَ الْعَصْر، وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ» فَهَذَا ابْنُ عَبَّاسٍ رَاوِي حَدِيثِ الْبَابِ قَدْ صَرَّحَ بِأَنَّ مَا رَوَاهُ مِنْ الْجَمْع الْمَذْكُور هُوَ الْجَمْع الصُّورِيّ

“Dan dari apa yang membawa hadits ini (Hadits Ibnu Abbas) kepada jama’ shuuri (bukan jama’a beneran) adalah riwayat yang dikeluarkan oleh An-Nasa’i dari Ibnu Abbas dengan lafadz: “Aku bersama nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dzuhur dan ashar sekaligus, dan maghrib isya sekaligus. Beliau mengakhirkan shalat dzuhur dan mempercepat shalat ashar. Dan mengakhirkan shalat ashar dan mempercepat shalat isya”. Maka ibnu Abbas ini adalah perawi hadits bab (yang sedang dibahas), Ibnu Abbas telah memperjelas bahwasanya apa yang diriwayatkan olehnya mengenai jama’ shalat yang disebutkan adalah jama’ shuuri” (Nail Al-Authar 2/358)
Lafaz yang dijadikan hujjah oleh Asy Syaukaniy tersebut bukanlah perkataan Ibnu ‘Abbaas melainkan idraaj [sisipan] dari perawi hadis yaitu zhan [dugaan] sang perawi terhadap hadis tersebut. Dan zhan atau prasangka tidak menjadi hujjah.
Apalagi di saat yang lain Abu Sya’tsaa’ Jabir bin Zaid perawi tersebut menyebutkan zhan atau dugaan yang lain

حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ قَالَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ هُوَ ابْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ فَقَالَ أَيُّوبُ لَعَلَّهُ فِي لَيْلَةٍ مَطِيرَةٍ قَالَ عَسَى

Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’man yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dia Ibnu Zaid dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat di Madinah tujuh dan delapan rakaat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Maka Ayuub berkata “mungkin karena malam berhujan”. [Jabir bin Zaid] berkata “bisa jadi” [Shahih Bukhariy 1/114 no 543]
Di saat lain perawi mengira itu jamak shuriy dan di saat lain perawi yang sama mengira jama’ itu karena hujan. Dugaan tidak menjadi hujjah dan terdapat riwayat Ibnu ‘Abbas yang menunjukkan bahwa jama’ tersebut memang betul jama’ shalat sebenarnya bukan jama’ shuriy.

وحدثني أبو الربيع الزهراني حدثنا حماد عن الزبير بن الخريت عن عبدالله بن شقيق قال خطبنا ابن عباس يوما بعد العصر حتى غربت الشمس وبدت النجوم وجعل الناس يقولون الصلاة الصلاة قال فجاءه رجل من بني تميم لا يفتر ولا ينثني الصلاة الصلاة فقال ابن عباس أتعلمني بالسنة ؟ لا أم لك ثم قال رأيت رسول الله صلى الله عليه و سلم جمع بين الظهر والعصر والمغرب والعشاء قال عبدالله بن شقيق فحاك في صدري من ذلك شيء فأتيت أبا هريرة فسألته فصدق مقالته

Dan telah menceritakan kepada kami Abu Rabii’ Az Zahraaniy yang berkata telah menceritakan kepada kami Hammaad dari Zubair bin Khirriit dari ‘Abdullah bin Syaqiiq yang berkata Ibnu ‘Abbas berkhutbah kepada kami pada suatu hari setelah Ashar sampai terbenamnya matahari dan nampak bintang-bintang maka orang-orang pun mulai menyerukan “shalat shalat”. Kemudian datang seorang dari Bani Tamim yang tidak henti-hentinya menyerukan “shalat shalat”. Maka Ibnu ‘Abbas berkata “engkau ingin mengajariku Sunnah? Celakalah engkau, kemudian Ibnu ‘Abbas berkata “aku telah melihat Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. ‘Abdullah bin Syaqiiq berkata “dalam hatiku muncul sesuatu yang mengganjal, maka aku mendatangi Abu Hurairah dan bertanya kepadanya, maka ia membenarkan ucapannya [Ibnu ‘Abbas] [Shahih Muslim 1/490 no 705]
Zhahir lafaz riwayat Muslim di atas memang menyebutkan Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ Zhuhur Ashar dan Maghrib Isyaa’. Kemudian apa yang dilakukan Ibnu ‘Abbas belum mengerjakan shalat maghrib sampai nampaknya bintang-bintang menunjukkan bahwa ia akan shalat jama’ takhir maghrib isyaa’ maka bisa dipastikan hal itu bukan jama’ shuriy.
Perbuatan Ibnu ‘Abbaas yang menjama’ shalat maghrib dan isya’ karena sibuk berkhutbah [menyampaikan ilmu] menjadi dasar untuk menolak zhan [dugaan] perawi hadis yang menganggap jama’ tersebut adalah jama’ shuriy atau zhan [dugaan] yang menganggap hal itu adalah jama’ karena hujan.
.Komentar : he..sok gak pernah salah ketik,padahal ente jelas lebih parah,ente salah jelas terjemahan,tapi gak nyadar..kasihaan..lihat ente artikan وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ “. Dan mengakhirkan shalat ashar”ini jelas kesalahan yg nyata.
Apakah kalau itu terbukti idraj terus serta merta bukan hujjah alias bukan bahan pertimbangan sama sekali,jelas ini pembodohan yg nyata.
Imam alfasawi dalam fathul mughits hal 224 menjelaskan jika dalam hal tafsir matan maka itu hujjah,tentu jauh lebih dipertimbangkan daripada ucapan ente yg ngawur versi syiah yg tidak peduli ucapan sahabat bahkan memaki mereka.apalagi jika ucapan sahabat itu tidak bertentangan dg sahabat lain walaupun berbeda penafsiran namun berujung sama yaitu udzur syar’I bukan tanpa alasan kayak syiah sesat.dan itu bukan medan akal/ijtihad serta berkesesuaian dg ushul syariat.
Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasar-dasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 )
Jama’ shuri dan jama’ beneran tidaklah bertentangan dan kedua cara itu haq,tidak perlu dipertentangkan kecuali bagi orang yg gagal faham kayak syiah rusak logika ini.ibnu abbas pun tidak pernah melarang jama’ shuri, jadi walaupun beliau jama’ beneran tidak lantas membatalkan pembolehan jama’ shuri karena ada hadits yg menjelaskan hal itu,serta rukhsoh atau kesulitan seseorang bertingkat-tingkat.oleh karenanya ada kaidah yg masyhur : hukum itu berputar sesuai dengan ‘illah-nya, ada atau tidaknya ‘illah tersebut (kalau ‘illah itu ada pada suatu perkara maka perkara itu memiliki hukum tersebut, kalau tidak ada maka hukum itu tidak berlaku padanya)
Jadi mempertentangkan sesuatu yg sama2 ada nashnya adalah kejahilan yg rusak
Imam Syafii mengatakan, “Tentang masalah ini terdapat banyak pendapat. Di antaranya adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat di Madinah dengan tujuan memberi kelonggaran untuk umatnya sehingga tidak ada seorangpun yang berat hati untuk menjamak shalat pada satu kondisi”. Setelah itu beliau mengatakan,
وليس لأحد أن يتأوّل في الحديث ما ليس فيه
Tidak boleh bagi seorangpun untuk mengotak atik hadits dengan hal yang tidak terdapat di dalamnya” (Al Umm 7/205).

.
.
SYUBHAT SYIAH : Muhammad ‘Abdurrahman Al Amiriy kemudian membawakan hadis lain yang menurut anggapannya menjadi hujjah bahwa jama’ tersebut dilakukan karena terdapat uzur perkara berat yang mendesak. Berikut riwayat yang dimaksud

وحدثنا أحمد بن يونس وعون بن سلام جميعا عن زهير قال ابن يونس حدثنا زهير حدثنا أبو الزبير عن سعيد بن جبير عن ابن عباس قال صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم الظهر والعصر جميعا بالمدينة في غير خوف ولا سفر قال أبو الزبير فسألت سعيدا لم فعل ذلك ؟ فقال سألت ابن عباس كما سألتني فقال أراد أن لا يحرج أحدا من أمته

Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yuunus dan ‘Aun bin Salaam keduanya dari Zuhair. Ibnu Yuunus berkata telah menceritakan kepada kami Zuhair yang berkata telah menceritakan kepada kami Abu Zubair dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat zhuhur dan ashar sekaligus di Madinah bukan karena takut dan bukan pula dalam perjalanan. Abu Zubair berkata maka aku bertanya kepada Sa’id “mengapa Beliau melakukannya?”. [Sa’id] berkata aku telah bertanya kepada Ibnu ‘Abbas sebagaimana engkau bertanya kepadaku. Maka ia menjawab “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” [Shahih Muslim 1/489 no 705]
Dalam hadis di atas tidak ada disebutkan bahwa Nabi [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ karena uzur perkara berat atau mendesak. Lafaz hadis “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya” adalah tujuan dari syari’at shalat jama’ tersebut bukan sebagai keterangan yang menunjukkan adanya uzur. Secara zhahir hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] melakukan shalat jama’ tersebut tanpa adanya uzur, Beliau ingin memberikan keluasan kepada umatnya sehingga tidak ada satupun dari umatnya yang akan merasa kesulitan dalam melaksanakan shalat.
Komentar : inilah ente selalu membuat kesimpulan yg dipaksakan,mana kata-kata boleh tanpa udzur???gak ada,itu Cuma dari kantong ente sendiri.justru menunjukkan bahwa al haroj / kesulitan adalah termasuk udzur syar’I dalam menjama’ sholat,bukan dibawa tanpa udzur.
SYUBHAT SYIAH : Al Baghawiy memahami hadis riwayat Muslim tersebut sebagai dalil bolehnya menjama’ shalat tanpa adanya uzur. Al Baghawiy setelah meriwayatkan hadis di atas dalam kitabnya Syarh As Sunnah, ia berkata

هَذَا الْحَدِيثُ يَدُلُّ عَلَى جَوَازِ الْجَمْعِ بِلا عُذْرٍ ، لأَنَّهُ جَعَلَ الْعِلَّةَ أَنْ لا تَحْرَجَ أُمَّتُهُ ، وَقَدْ قَالَ بِهِ قَلِيلٌ مِنْ أَهْلِ الْحَدِيثِ ، وَحُكِيَ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ ، أَنَّهُ كَانَ لا يَرَى بَأْسًا بِالْجَمْعِ بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ إِذَا كَانَتْ حَاجَةٌ أَوْ شَيْءٌ ، مَا لَمْ يَتَّخِذَهُ عَادَةً

Hadis ini menjadi dalil dibolehkannya menjama’ shalat tanpa adanya uzur, karena Beliau telah menjadikan sebabnya sebagai tidak menyulitkan umatnya, Dan sungguh telah berkata demikian sedikit dari ahlul hadis, dihikayatkan dari Ibnu Siriin bahwa ia berkata “tidak mengapa menjama’ dua shalat jika memiliki hajat atau sesuatu keperluan dan tidak menjadikannya sebagai kebiasaan” [Syarh As Sunnah Al Baghawiy 4/199 no 1044]
Ibnu ‘Abbaas sendiri selaku sahabat yang meriwayatkan hadis tersebut telah mengamalkan menjama’ shalat bukan karena ada perkara berat yang mendesak sebagaimana dikatakan Al Amiriy. Apakah berkhutbah atau menyampaikan ilmu termasuk perkara berat mendesak?. Bukankah begitu mudah untuk berhenti sejenak untuk melaksanakan shalat. Kalau Al Amiriy menganggap shalat jama’ tersebut mempermainkan syari’at atau lalai maka itu berarti ia menuduh Ibnu ‘Abbaas telah mempermainkan syari’at.
Komentar : bukan syiah kalau tidak curang ilmiah, dari nukilan albaghowi jelas itu pendapat sedikit dari ahli hadits,adapun ibnu sirrin tidak berpendapat demikian,namun si syiah ini membuat seolah-olah ibnu sirrin juga mengakuinya dg menaruh koma di depan nama ibnu sirrin serta tidak mengartikan huruf  wawu yg itu menunjukkan bukan bagian kalimat sebelumnya,inilah kecurangan yg sering dilakukan syiah,yg harus diwaspadai.
Apalagi kalau lanjutkan nukilannya akan semakin menyingkap kebusukannya yaitu :
وذهب أكثر العلماء إلى أن الجمع بغير عذر لا يجوز
Dan kebanyakan ulama’ berpendapat bahwa jama’ tanpa udzur tidak boleh
SYUBHAT SYIAH : حدثنا موسى بن هارون ثنا داود بن عمرو الضبي ثنا محمد بن مسلم الطائفي عن عمرو بن دينار عن جابر بن زيد عن ابن عباس قال : صلى رسول الله صلى الله عليه و سلم ثمان ركعات جميعا وسبع ركعات جميعا من غير مرض ولا علة
Telah menceritakan kepada kami Muusa bin Haruun yang berkata telah menceritakan kepada kami Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy yang berkata telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy dari ‘Amru bin Diinar dari Jabir bin Zaid dari Ibnu ‘Abbaas yang berkata Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] shalat delapan rakaat sekaligus dan tujuh raka’at sekaligus bukan karena sakit dan tanpa sebab tertentu [uzur] [Mu’jam Al Kabir 12/177 no 12807]
Riwayat Ath Thabraniy di atas para perawinya tsiqat dan shaduq, berikut keterangan tentangnya
  1. Muusa bin Haaruun seorang hafiz tsiqat kabiir [Taqrib At Tahdzib 2/230]
  2. Dawud bin ‘Amru Adh Dhabiy seorang yang tsiqat [Taqrib At Tahdzib 1/281]
  3. Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy seorang yang shaduq sering keliru dari sisi hafalannya [Taqrib At Tahdzib 2/133]. Dikoreksi dalam Tahrir At Taqrib bahwa Muhammad bin Muslim seorang yang shaduq hasanul hadis [Tahrir Taqrib At Tahdzib no 6293]
  4. Amru bin Dinar Al Makkiy seorang yang tsiqat tsabit [Taqrib At Tahdzib 1/734]
  5. Jabir bin Zaid seorang yang tsiqat faqiih [Taqrib At Tahdziib 1/152]
Riwayat Ath Thabraniy di atas adalah qarinah kuat yang menyatakan bahwa Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] menjama’ shalat tersebut tanpa adanya uzur.
Komentar : itu hadits ma’lul alias dho’if alias lemah.tentang Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy, imam ahmad telah melemahkannya :
ضعفه على كل حال ، من كتاب وغير كتاب ، وقال : ما أضعف حديثه
Beliau melemahkan atas segala keadaannya,baik dg kitab atau tana kitab,dan beliau berkata heran : apakah yg lebih lemah dari haditsnya.
Imam abu ja’far al uqoiliy memasukkannya dalam daftar barisan perawi – perawi lemah.
Imam abu hatim mengatakan : يخطئ  dia keliru
Imam annasai berkata : ليس بقوي في الحديث bukanlah perawi yg kuat dalam hadits
Imam ibnu hajar : صدوق يخطىء من حفظه shoduq sering keliru dari hafalannya
,begitu pula imam ibnu rojab dalam al fath 3/84 :
محمد بن مسلم ليس بذاك الحافظ
Muhammad bin Muslim Ath Tha’ifiy bukanlah seorang yg hafidz.
Kalaupun shohih bukan dalil jama’ tanpa udzur karena tanpa ‘illah bukan berarti tanpa udzur kayak tafsir ente yg ngawur.tapi maksudnya tanpa keadaan sakit dan semisalnya.itulah tafsir ulama’ yg membedakan ‘illah dan udzur.begitu pula nabi membedakan dalam hadits :
من ترك الجمعة ثلاث مرات من غير عذر ولا علة طبع الله على قلبه
Barangsiapa meninggalkan sholat jum’at tiga kali tanpa udzur dan ‘illah maka akan menstempel hatinya.
Imam azzarqoni dalam syarh azzarqoni ‘alal muwattho’ :
من مرض ونحوه ( ولا علة )
Dan tanpa ‘illah maksudnya tanpa keadaan sakit dan semisalnya
SYUBHAT SYIAH : Kesimpulan
Dalam perkara ini, pendapat yang rajih adalah apa yang dikatakan sebagian ulama bahwa menjama’ shalat dibolehkan secara mutlak asal tidak dijadikan kebiasaan. Ibnu Hajar berkata

وقد ذهب جماعة من الأئمة إلى الأخذ بظاهر هذا الحديث ، فجوزوا الجمع في الحضر للحاجة مطلقا لكن بشرط أن لا يتخذ ذلك عادة ، وممن قال به ابن سيرين وربيعة وأشهب وابن المنذر والقفال الكبير وحكاه الخطابي عن جماعة من أصحاب الحديث ، واستدل لهم بما وقع عند مسلم في هذا الحديث من طريق سعيد بن جبير قال : فقلت لابن عباس لم فعل ذلك ؟ قال : أراد أن لا يحرج أحدا من أمته

Dan sungguh sekelompok dari para imam telah mengambil zhahir hadis ini, maka mereka membolehkan secara mutlak shalat jama’ ketika mukim karena ada keperluan tetapi dengan syarat tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan. Diantara yang mengatakan demikian adalah Ibnu Sirin, Rabii’ah, Asyhab, Ibnu Mundzir, Al Qaffaal Al Kabiir dan dihikayatkan oleh Al Khaththaabiy dari jama’ah ahli hadis. Dan mereka telah berdalil dengan hadis ini riwayat Muslim dari jalan Sa’iid bin Jubair yang berkata maka aku berkata kepada Ibnu ‘Abbas “mengapa Beliau melakukannya?”. Ibnu ‘Abbaas berkata “Beliau menginginkan tidak menyulitkan seorangpun dari umatnya “ [Fath Al Bariy Ibnu Hajar 2/24]
Pernyataan para ulama yang dinukil Ibnu Hajar tersebut telah sesuai dengan dalil shahih dari Rasulullah [shallallahu ‘alaihi wasallam] sebagaimana yang diriwayatkan Ibnu ‘Abbaas. Pernyataan para ulama ini sekaligus membatalkan klaim ijma’ dalam mengharamkan shalat jama’ tanpa adanya uzur. Bagaimana bisa dikatakan ijma’ kalau terdapat sekelompok ulama yang mengingkarinya.
Komentar : sekali ente curang ilmiah.ente ngacak terjemahan sehingga muncul kalimat : membolehkan secara mutlak,.padahal kata mutlak itu dibelakang setelah ada hajat ,inilah pengaburan makna.seharusnya dikatakan: membolehkan shalat jama’ ketika mukim untuk hajat secara mutlak .jadi yg mutlak itu jika ada hajat saja.
Jadi ijma’ itu tetap tegak berdiri kokoh dari mulut jahil syiah macam ente.
Abu ‘Umar Yusuf Al-Qurthubi rahimahullah dalam Al-Istidzkar:

وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّهُ لَا يَجُوزُ الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي الْحَضَرِ لِغَيْرِ عُذْرِ الْمَطَرِ إِلَّا طَائِفَةً شَذَّتْ

“Dan para ulama telah berijma’ bahwasanya tidak diperbolehkan menggabungkan 2 shalat ketika mukim (tidak safar) tanpa adanya udzur hujan, kecuali sebuah kelompok yang menyimpang (mereka membolehkan)” (Al-Istidzkar 2/211)

Ibnu Qudamah rahimahullah juga berkata dalam Al-Mughni:

وَقَدْ أَجْمَعْنَا عَلَى أَنَّ الْجَمْعَ لَا يَجُوزُ لِغَيْرِ عُذْرٍ

“Dan kita telah berijma’ bahwasanya menjama’ shalat hukumnya tidak boleh tanpa adanya udzur” (Al-Mughni 2/204)
Dan menyelisihinya adalah dosa besar.
وروى ابن أبي شيبة (2/346) عن أبي موسى الأشعري وعمر بن الخطاب رضي الله عنهما أنهما قالا : (الجمع بين الصلاتين من غير عذر من الكبائر) .
Dan imam ibn abi syaibah (2/346) dari abu musa al as’ariy dan umar ibn al khottob beliau berdua berkata : menjama’ dua sholat tanpa udzur termasuk DOSA BESAR

Tidak ada komentar: